Selasa, 23 September 2014

FENOMENA NGIDAM BAGI ISTERI YANG SEDANG HAMIL




apasih ngidam itu....?
Dalam kamus ash-Shihah:
وحم...والوَحامُ والوِحامُ: شهوة الحُبلى، وليس الوِحامُ إلاّ في شهوة الحبل خاصَّةً.
"Waham, wahaam, wihaam, yakni keinginan seorang wanita hamil. Mengidam hanya terjadi pada wanita yang sedang mengandung." (as-Shihah, 2/270)
Dalam kamus Maqayis al-Lughat:
(وحم) الواو والحاء والميم: كلمتان. الوَحَم والوَِحَام. والوَحَم: شهوةُ المرأة للشيء على الحَبَل.
"Waham - wawu, ha, mim- terlaku dengan dua kalimat waham dan wahaam (serta wihaam). Mengidam adalah keinginan wanita akan sesuatu ketika dia mengandung." 
(Maqayis al-Lughat, 6/70)
Lalu bagai mana dg hukum ngidam?
Pembahasan tentang ngidam berkelindan dengan pembahasan kewajiban nafkah suami atas istri. Sebagaimana diketahui, suami wajib memberikan nafkah atas istri. Di antaranya dalam memenuhi kebutuhan makanan dan lauk-pauknya. 
Dari situ, para ulama menyatakan wajib diturutinya ngidam pada cemilan wajib istri sehari-hari, serta bukan wajib pada ngidam yang 'biasa-biasa saja' (bukan cemilan sehari-hari).
تَنْبِيهٌ : يَنْبَغِي أَنْ يَجِبَ مَا تَطْلُبُهُ الْمَرْأَةُ عِنْدَ مَا يُسَمَّى بِالْوَحَمِ مِنْ نَحْوِ مَا يُسَمَّى بِالْمُلُوحَةِ إذَا اُعْتِيدَ ذَلِكَ .
وَأَنَّهُ حَيْثُ وَجَبَتْ الْفَاكِهَةُ وَالْقَهْوَةُ وَنَحْوُ مَا يُطْلَبُ عِنْدَ الْوَحَمِ ، يَكُونُ عَلَى وَجْهِ التَّمْلِيكِ فَلَوْ فَوَّتَهُ اسْتَقَرَّ لَهَا وَلَهَا الْمُطَالَبَةُ بِهِ وَلَوْ اعْتَادَتْ نَحْوَ الْأَفْيُونِ بِحَيْثُ تَخْشَى بِتَرْكِهِ مَحْذُورًا مِنْ تَلَفِ نَفْسٍ وَنَحْوِهِ لَمْ يَلْزَمْ الزَّوْجَ لِأَنَّ هَذَا مِنْ بَابِ التَّدَاوِي ا هـ م ر سم .
"[Tanbih] Seharusnyalah dikenakan hukum wajib pada sesuatu yang diingini istri ketika dia mengalami sesuatu yang disebut ngidam, yakni dari semisal asinan ketika dia terbiasa dengan hal itu. Kemudian ketika pemenuhan buah-buahan, kopi, dan apa-apa yang diminta selama ngidam dinyatakan wajib, maka hal itu bersifat tamlik. Seandainya terlewat maka istri tetap berhak dan bisa menagihnya. Jika ternyata istri terbiasa dengan konsumsi opium, yang bila tidak dipenuhi akan berefek kerusakan fungsi tubuh atau semacamnya, maka tetap tidak wajib dituruti sebab hal itu masuk pada bahasan pengobatan [bukan bahasan nafkah, red]." 
(Hasyiyah Bujairimi 'ala Khatib, 11/382)
قَوْلُهُ : ( وَقَدْ تَغْلِبُ الْفَاكِهَةُ ) لَيْسَ هَذِهِ مِنْ الْأُدْمِ وَيُسْتَفَادُ مِنْهُ ، أَنَّ الْوَاجِبَ لَا يَتَقَيَّدُ بِالْأَكْلِ وَالْأُدْمِ .
بَلْ كُلُّ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ يَجِبُ حَتَّى نَحْوُ قَهْوَةٍ وَفِطْرَةٍ ، وَكَعْكٍ وَسَمَكٍ فِي أَوْقَاتِهَا وَسَيَأْتِي ق ل .
"[Kadang istri gemar dengan buah-buahan] Buah-buahan bukan jenis lauk-pauk. Dari sini bisa dipahami bahwa ukuran kewajiban tidak diqayyidi sebatas pada makanan dan lauk-pauk, melainkan pada setiap kebiasaan sehari-hari istri, sampai pada semisal kopi dan jamur-jamuran, juga pada kue dan ikan, sesuai agenda istri. Akan dibahas lebih lanjut - Qulyubi " 
(Hasyiyah Bujairimi 'ala Khatib, 11/382)

Senin, 05 Mei 2014

HUKUM MENCUKUR JENGGOT



Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mencukur jenggot. Dr Wahbah Zuhaili memaparkan bahwa ulama Malikiyah dan Hanabilah mengharamkan mencukur jenggot, sedangkan Hanafiyah menganggapnya sebagai makruh tahrim dan makruh tanzih di sisi Syafi’iyah. Pernyataan Wahbah Zuhaili tersebut dapat dilihat dalam kitabnya, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, sebagai berikut :
اما إرخاء أو إعفاء اللحية: فهو تركها وعدم التعرض لها بتغيير، وقد حرم المالكية والحنابلة حلقها، ولا يكره أخذ ما زاد على القبضة، ولا أخذ ما تحت حلقه، لفعل ابن عمر ويكره حلقها تحريماً عند الحنفية، ويكره تنزيهاً عند الشافعية، فقد ذكر النووي في شرح مسلم عشر خصال مكروهة في اللحية، منها حلقها، إلا إذا نبت للمرأة لحية، فيستحب لها حلقها.
Artinya : Adapun menurunkan dan membiarkan jenggot, yaitu membiarkannya serta tidak melakukan perubahan, maka ulama Malikiyah dan Hanabilah  mengharamkan mencukurnya dan tidak memakruhkan memotong yang lebih dari genggaman dan juga tidak memakruhkan memotong yang dibawah halqum seseorang, karena mengikuti perbuatan Ibnu Umar. Di sisi ulama Hanafiyah makruh tahrim mencukurnya dan makruh tanzih di sisi ulama Syafi’iyah. Al-Nawawi dalam Syarh Muslim telah menyebut sepuluh perkara yang makruh pada jenggot, sebagiannya mencukurnya kecuali apabila tumbuh jenggot itu pada seorang perempuan, maka disunatkan mencukurnya.
( Dr Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 308)

            Kesimpulan Wahbah Zuhaili di atas dapat pula ditelusuri dalam kitab-kitab mazhab-mazhab empat, yaitu sebagai berikut :
a.        Ulama Hanafiyah :
1.      Kitab Radd al-Muhtar ‘ala Dar al-Mukhtar, karangan Ibnu Abidin :
وَلِذَا يَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ قَطْعُ لِحْيَتِهِ
Artinya : Karena itu, haramlah atas laki-laki memotong jenggotnya.
(Ibnu Abidin, Radd al Muhtar’ala Dar al mukhtar, Maktabah syamilah, juz XXVII, hal.33)

2.      Kitab Badaa-i’ al-Shanaa-i’ fi Tartib al-Syara-i’, karangan Abu Bakar al-Kasany
أَنَّ حَلْقَ اللِّحْيَةِ مِنْ بَابِ الْمُثْلَةِ
  Artinya : Sesungguhnya mencukur jenggot termasuk dalam bab mutslah.
( Abu Bakar al-Kasany, Badaa-i’ al-Shanaa-i’ fi Tartib al-Syara-i’, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 437)

b.        Ulama Malikiyah :
1.      Kitab Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarh al-Kabir, karya Muhammad al-Dusuqi :
يَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ حَلْقُ لِحْيَتِهِ
Artinya : Haram atas laki-laki mencukur jenggot.
( Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarh al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 290)

2.      Kitab Bulghah al-Saalik li Aqrab al-Masalik, karya Syekh Ahmad al-Shawi :
قوله : ( بحلق لحيته و لا تسخيم وجهه ) : أي يحرم ذلك
Artinya : Perkataan Mushannif : (Tidak dita’zir dengan mengukur jenggot dan tidak menghitamkan mukanya) artinya haram yang demikian itu.
( Ahmad Shawi, Bulghah al-Saalik li Aqrab al-Masalik, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. IV, Hal. 81)

Qadhi ‘Iyazh, salah seorang ulama terkemuka dari kalangan Malikiyah berpendapat bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan makruh,  sebagaimana pendapat yang masyhur dikalangan Malikiyah. Hal ini sebagaimana disebut dalam kitab Tharh al-Tatsrib karangan al-Hafizh al-‘Iraqi sebagai berikut :
قال القاضي عياض يكره حلقها وقصها وتحريقها
Artinya : Qadhi ‘Iyazh mengatakan : makruh mencukur, memotong dan membakar jenggot.
( Al-Hafizh al-Iraqi, Tharh al-Tatsrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Juz. II, Hal. 83)

c.         Ulama Hanabilah
1.    Kitab al-Furu’, karangan Ibnu Muflih :
وَيُعْفِي لِحْيَتَهُ ، وَفِي الْمَذْهَبِ مَا لَمْ يُسْتَهْجَنْ طُولُهَا وَيَحْرُمُ حَلْقُهَا ذَكَرَهُ شَيْخُنَا
Artinya : Dibiarkan jenggotnya, di dalam mazhab selama tidak dikuatirkan buruk panjangnya dan haram mencukurnya, itu disebut oleh guru kami.
( Ibnu Muflih, al-Furu’, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 92)


2.    Kitab Kasyf al-Qana’ ‘an Matn al-Iqna’ :

( وَيُحَرَّمُ ) التَّعْزِيرُ ( بِحَلْقِ لِحْيَتِهِ ) لِمَا فِيهِ مِنْ الْمُثْلَةِ
Artinya : Haram ta’zir dengan cara mencukur jenggotnya, karena hal itu termasuk mutslah
( Mansur bin Yunus al-Buhuti al-Hanbali, Kasyf al-Qana’ ‘an Matn al-Iqna’, Maktabah Syamilah, Juz. XX, Hal. 492)

d.        Ulama Syafi’iyah
Sedangkan ulama Syafi’iyah berbeda pendapat dalam menentukan hukum mencukur jenggot, namun yang mu’tamad yang dianggap sebagai mazhab adalah pendapat yang menyatakan makruh, sebagaimana terlihat dalam kutipan kitab-kitab Syafi’iyah di bawah ini :
a.     Kitab Fathul Mu’in karangan Zainuddin al-Malibari :
ويحرم حلق لحية، وخضب يدي الرجل ورجليه بحناء، خلافا لجمع فيهما. وبحث الاذرعي كراهة حلق ما فوق الحلقوم من الشعر.وقال غيره إنه مباح.
Artinya : Haram mencukur jenggot dan mewarnai dua tangan seorang laki-laki dan dua kakinya dengan inai, khilaf dengan sekelompok ulama pada masalah keduanya. Al-Azra’i telah membahas makruh mencukur bulu di atas halqum, sedangkan lainnya mengatakan mubah.
( Zainuddin al-Malibary, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 340)
b.      Al-Nawawi dalam Syarah Muslim telah menyebut perkara-perkara yang makruh pada jenggot, sebagiannya yaitu :
الثانية عشر حلقها الا إذا نبت للمرأة لحية فيستحب لها حلقها
Artinya : Yang kedua belas adalah mencukurnya kecuali apabila tumbuh jenggot itu pada seorang perempuan, maka disunatkan mencukurnya.
( Al-Nawawi, Syarh Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 149-150)

c.    Kitab I’anah al-Thalibin, karangan al-Bakri al-Dimyathi dalam mengomentari pernyataan pengarang Fathul Mu’in di atas menyebutkan :
المعتمد عند الغزالي وشيخ الإسلام وابن حجر في التحفة والرملي والخطيب وغيرهم: الكراهة
Artinya : Pendapat yang mu’tamad di sisi al-Ghazali, Syekh Islam, Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib dan lainnya adalah makruh.
(Al-Bakri al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 340)

d.   Kitab Asnaa al-Mathalib, karangan Zakariya al-Anshari :

(وَ) يُكْرَهُ (نَتْفُهَا) أَيْ اللِّحْيَةِ أَوَّلَ طُلُوعِهَا إيثَارًا لِلْمُرُودَةِ وَحُسْنِ الصُّورَةِ
Artinya : Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk nampak seperti orang yang baru tumbuh jenggot dan untuk tampilan yang bagus.
(Zakariya al-Anshari, Asnaa al-Mathalib, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 551)

e.    Kitab Tuhfah al-Muhtaj, karangan Ibnu Hajar al-Haitamy :

ذَكَرُوا هُنَا فِي اللِّحْيَةِ وَنَحْوِهَا خِصَالًا مَكْرُوهَةً مِنْهَا نَتْفُهَا وَحَلْقُهَا
Artinya : Mereka (ulama) telah menyebut di sini berkenaan dengan jenggot dan seumpamanya tentang perkara-perkara yang dimakruhkan, di antaranya mencabut dan mencukur jenggot.
(Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. IX, Hal. 375-376)

f.     Kitab Mughni al-Muhtaj, karangan Khatib Syarbaini :

و يُكْرَهُ نَتْفُْ اللِّحْيَةِ أَوَّلَ طُلُوعِهَا إيثَارًا لِلْمُرُودَةِ
Artinya : Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk nampak seperti orang yang baru tumbuh jenggot.
(Khatib Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. IV, Hal. 397)

g.    Kitab Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj:
(قَوْلُهُ أَوْ يَحْرُمُ كَانَ خِلَافَ الْمُعْتَمَدِ إلَخْ) قَالَ فِي شَرْحُ الْعُبَابِ فَائِدَةٌ قَالَ الشَّيْخَانِ يُكْرَهُ حَلْقُ اللِّحْيَةِ وَاعْتَرَضَهُ ابْنُ الرِّفْعَةُ فِي حَاشِيَةِ الْكَافِيَةِ بِأَنَّ الشَّافِعِيَّ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - نَصَّ فِي الْأُمِّ عَلَى التَّحْرِيمِ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَكَذَا الْحَلِيمِيُّ فِي شُعَبِ الْإِيمَانِ وَأُسْتَاذُهُ الْقَفَّالُ الشَّاشِيُّ فِي مَحَاسِنِ الشَّرِيعَةِ
Artinya : (Perkataan mushannif : “atau haram, maka pendapat yang menyalahi yang mu’tamad”), dikatakan dalam Syarh al-‘Ubab : “Faedah :  Kedua Syekh (yaitu Nawawi dan Rāfi'ī) menganggap makruh mencukur jenggot. Ibnu Ar-Rifa'ah menentang pendapat mereka dalam Hasyiyah al-Kāfiyah karena ada nash dari Imam Syafi'i r.a. dalam kitabnya, al-Umm haram mencukur jenggot. Az-Zarkasyī menyatakan bahwa hal yang sama dinyatakan oleh Al-Hulaimi dalam kitabnya, Syu'ab Al-Iman, serta gurunya Al-Qaffāl Ash-Syasyi dalam Mahasin Asy-syari'ah.
(Syarwani, Hawasyi al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. IX, Hal. 376)
Apabila kita perhatikan kutipan-kutipan di atas, maka dapat diterangkan di sini bahwa kebanyakan ulama Syafi’iyah berpendapat makruh mencukur jengggot, yaitu al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i, Syekh Islam (Zakariya al-Anshari), Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib, dan lainnya. Sedangkan yang menyatakan haram adalah Ibnu al-Rifa’ah, al-Hulaimy dan al-Qafal al-Syasyi. Kita berkesimpulan bahwa pendapat makruh mencukur jengggot, yaitu pendapat al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i, Syekh Islam (Zakariya al-Anshari), Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib merupakan pendapat mu’tamad dalam mazhab Syafi’i karena berdasarkan kesepakatan ulama Syafi’iyah mutaakhiriin bahwa yang menjadi ikutan dalam mazhab Syafi’i adalah pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi dan al-Rafi’i, kemudian Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, Zakariya al-Anshari, al-Khatib dan kemudian ulama-ulama lainnya yang berada di bawahnya. Dalam Fathul Mu’in disebutkan :
إعلم أن المعتمد في المذهب للحكم والفتوى ما اتفق عليه الشيخان، فما جزم به النووي فالرافعي فما رجحه الاكثر فالاعلم فالاورع.
Artinya : Ketahuilah bahwa sesungguhnya yang mu’tamad dalam mazhab untuk penetapan hukum dan fatwa adalah apa yang menjadi kesepakatan dua syaikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i), kemudian yang dipastikan oleh al-Nawawi, kemudian oleh al-Rafi’i, kemudian hukum yang ditarjih oleh kebanyakan, kemudian yang lebih ‘alim dan kemudian yang lebih wara’.
(Zainuddin al-malibari, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 233-234)

        Al-Bakri al-Dimyathi dalam I’anah al-Thalibin (kitab hasyiah bagi kitab Fathul Mu’in di atas) menjelaskan :
واعلم أنه إذا اختلف كلام المتأخرين عن الشيخين - كشيخ الاسلام وتلامذته - فقد ذهب علماء مصر إلى اعتماد ما قاله الشيخ محمد الرملي، خصوصا في نهايته، لانها قرئت على المؤلف إلى آخرها في أربعمائة من العلماء فنقدوها وصححوها. وذهب علماء حضرموت وأكثر اليمن والحجاز إلى أن المعتمد ما قاله الشيخ أحمد بن حجر في كتبه، بل في تحفته لما فيها من الاحاطة بنصوص الامام مع مزيد تتبع المؤلف فيها، ولقراءة المحققين لها عليه الذين لا يحصون، ثم إذا لم يتعرضا بشئ فيفتي بكلام شيخ الاسلام، ثم بكلام الخطيب، ثم بكلام الزيادي، ثم بكلام ابن قاسم، ثم بكلام عميرة، ثم بكلام ع ش، ثم بكلام الحلبي، ثم بكلام الشوبري، ثم بكلام العناني، ما لم يخالفوا أصول المذهب.
Artinya : Ketahuilah bahwa sesungguhnya apabila khilaf kalam muatakhirin mengenai pendapat dua syeikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i) seperti Syeikh Islam dan murid-muridnya, maka ulama Mesir berpegang kepada pendapat yang dipegang oleh Syeikh Muhammad al-Ramli, terutama dalam kitab al-Nihayah, karena kitab tersebut sudah dibaca kepada pengarangnya hingga akhirnya pada empat ratus ulama dimana mereka mengkritik dan mentashihnya. Ulama Hazramaut dan kebanyakan ulama Yaman dan Hijaz berpedapat bahwa yang mu’tamad adalah pendapat Syeikh Ahmad Ibnu Hajar dalam semua kitabnya, bahkan terutama dalam Tuhfah, karena dalamnya diperhatikan nash-nash imam serta lebih teliti pengarangnya serta juga karena telah dibaca para ulama muhaqiqin yang tidak terbatas banyaknya. Kemudian apabila keduanya (Ibnu Hajar dan al-Ramli) tidak mengemukakan pendapat apapun, maka difatwakan dengan kalam Syeikh Islam, kalam al-Khatib, al-Ziyadi, Ibnu Qasim, ‘Amirah, ع ش  (‘Ali Syibran al-Malusi), al-Halabi, al-Syaubari, dan kemudian kalam al-‘Inaani, selama mereka itu tidak menyalahi ushul mazhab.
(Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 234)

Hal senada dengan di atas, juga telah dikemukakan oleh Sayyed ‘Alawi bin Ahmad al-Saqaf dalam kitabnya, al-Fawaid al-Makkiyah ( ‘Alawi bin Ahmad al-Saqaf ,  al-Fawaid al-Makkiyah, dicetak dalam kitab Sab’ah al-Kutub al-Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 43-44) dan al-Faqih al-Muhaqqiq Sayyed Ahmad Miqaari Syumailah al-Ahdal dalam kitabnya, Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila ma’rifah Rumuz al-Minhaj(Sayyed Ahmad Miqaari Syumailah al-Ahdal, Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila ma’rifah Rumuz al-Minhaj, Hal. 31-33 dan 84-85) dan lainnya.

Beberapa pendapat mengatakan harom  :
1.        Mereka mengatakan keharaman mencukur jenggot merupakan ijmak ulama. Mereka beralasan dengan keterangan sebagai berikut :
a.       Keterangan Ibn Hazm dalam kitabnya, Maratib al-Ijma’, sebagai berikut :
واتفقوا أن حلق جميع اللحية مثلة لا تجوز
Artinya : Mereka sepakat bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan mutslah yang tidak dibolehkan.
( Ibnu Hazm, Maratib al-Ijmak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, , Hal. 157)
            Dakwaan Ibn Hazm ini tidak dapat diterima, karena jelas sekali bertentangan  dengan kenyataan bahwa status hukum mencukur jenggot terjadi khilaf di antara ulama Islam sebagaimana terlihat pada penjelasan di atas. Seandainya keterangan Ibn Hazm ini benar adanya, tentunya ulama besar sekaliber al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i,  Ibnu Hajar, al-Ramli, Zakariya al-Anshari, Qadhi ‘Iyazh dan al-Khatib  tidak akan berfatwa dengan fatwa yang menyalahi ijma’, apalagi ini bukan hanya difatwa oleh satu orang atau dua orang ulama, bahkan oleh kebanyakan ulama yang menjadi ikutan dikalangan pengikut Syafi’i plus Qadhi ‘Iyazh dari kalangan Malikiyah.
            Perlu dicatat bahwa Ibn Hazm ini sebagaimana dimaklumi adalah pengikut Mazhab Zhahiriyah dimana fatwanya dalam bidang agama sering dianggap syaz (ganjil) dan tidak dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam bab mura’ah (memelihara) khilaf dalam fiqh. Imam Haramain mengatakan :
ان المحققين لا يقيمون لخلاف اهل الظاهر وزنا
Artinya : Sesungguhnya ulama muhaqqiq tidak menjadi timbangan bagi khilaf Ahlu Zhahir.
( Alawi bin Ahmad al-Saqaf ,  al-Fawaid al-Makkiyah, dicetak dalam kitab Sab’ah al-Kutub al-Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 69)

Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan :
فَلَوْ فُرِضَ أَنَّ دَاوُد قَائِلٌ بِحِلِّ ذلك لم يُلْتَفَتُ إلَيْهِ على أَنَّ كَثِيرِينَ من أَصْحَابِنَا مَنَعُوا من تَقْلِيدِهِ كَسَائِرِ الظَّاهِرِيَّةِ لِأَنَّهُمْ لِإِنْكَارِهِمْ الْقِيَاسَ الْجَلِيَّ يَرْتَكِبُونَ السَّفْسَافَ من الْآرَاءِ فلم يُعْتَدَّ بِآرَائِهِمْ
Artinya : Seandainya ditaqdirkan bahwa Daud berpendapat dengan demikian itu (boleh nikah tanpa wali dan saksi), maka tidak boleh memperhatikannya karena kebanyakan ashab kita melarang taqlidnya sebagaimana halnya golongan Zhahiriyah lainnya, karena mereka mengingkari qiyas jalii (qiyas yang terang) dan mereka dihinggapi pikiran yang buruk, sehingga tidak diperhitungkan pendapat mereka.
( Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Juz. IV, Hal. 105)

b.      Keterangan al-Kamal bin al-Himam dalam kitab Fathul Qadir, sebagai berikut :

وَأَمَّا الْأَخْذُ مِنْهَا وَهِيَ دُونَ ذَلِكَ كَمَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ الْمَغَارِبَةِ وَمُخَنَّثَةُ الرِّجَالِ فَلَمْ يُبِحْهُ أَحَدٌ
Artinya : Adapun memotong jenggot yang panjangnya kurang dari genggaman sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang Moroko dan para laki-laki banci, maka tidak seorangpun yang mengatakan mubah.
(Al-Kamal bin al-Himam, Fath al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. IV, hal. 370)
Perkataan Ibn al-Himam “tidak seorangpun yang mengatakan mubah” bukanlah harus diartikan dengan haram, tetapi berkemungkinan juga mengandung pengertian meniadakan mubah, sehingga perkataan tersebut masih berkemungkinan bermakna yang mencakup makruh dan haram. Pengertian terakhir ini haruslah menjadi makna dari perkataan tersebut mengingat banyak ulama-ulama besar dalam mazhab yang berpendapat makruh mencukur jenggot disamping banyak juga yang berpendapat haram. Dengan demikian perkataan Ibn al-Himam ini tidak menjadi keterangan bahwa beliau berpendapat telah terjadi ijma’ haram mencukur jenggot.

2.        Mereka mengatakan Imam Syafi’i sendiri mengatakan hukum mencukur jenggot tidak dibolehkan, alias haram, sebagaimana tersebut dalam kitab al-Um, yaitu sebagai berikut :
والحلاق ليس بجناية لان فيه نسكا في الرأس وليس فيه كثير ألم وهو وإن كان في اللحية لا يجوز فليس كثير ألم ولا ذهاب شعر لانه يستخلف
Artinya : Mencukur rambut bukanlah jinayat, karena ada ibadah pada mencukurkan kepala dan juga karena tidak ada rasa sakit yang berlebihan padanya. Mencukur, meskipun jenggot tidak dibolehkan, namun tidak ada rasa sakit yang berlebihan dan tidak menyebabkan hilang rambut karena ia akan tumbuh lagi.
( Imam Syafi’i, al-Um, Dar al-Wifa’, Juz. VII, Hal. 203)

 Perkataan Imam Syafi’i “laa yajuz” di atas, memang zhahirnya bisa bermakna haram, tetapi masih berkemungkinan bermakna nafi al-jawaz al-mustawi baina al-tharfaini (menafikan boleh dengan makna menafikan sama antara dua sisi perbuatan, yaitu sisi melakukan atau tidak melakukannya) sehingga perkataan Syafi’i tersebut masih berkemungkinan bermakna yang mencakup makruh dan haram sebagaimana penjelasan terhadap perkataan Ibn al-Himam di atas. Mencakup makruh, karena makruh lebih rajih kepada tidak melakukan suatu perbuatan. Penjelasan yang mirip seperti ini juga pernah dilakukan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam mengomentari perkataan al-Hulaimy : “la yahillu zalika” (tidak halal yang demikian itu, yaitu mencukur jenggot). Al-Haitamy mengatakan :
وَلَا يُنَافِيهِ قَوْلُ الْحَلِيمِيِّ لَا يَحِلُّ ذَلِكَ لِإِمْكَانِ حَمْلِهِ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ نَفْيُ الْحِلِّ الْمُسْتَوِي الطَّرَفَيْنِ
Artinya : Perkataan al-Hulaimy “tidak halal yang demikian” tidak menafikan kemakruhan mencabut dan mencukur jenggot, karena masih mungkin menempatkan maksudnya itu adalah nafi halal yang sama dua sisi perbuatan.
(Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. IX, Hal. 376)
Dari keterangan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum mencukur jenggot adalah khilaf ma baiyna  al makruh wa al harom, bukan mubah.      Wallahu a’lam