Rabu, 26 Juni 2013

KENAPA ANJING DAN BABI NAJIS ?



Bermula Hadits dari Abu Hurairah ra Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ

Sucikanlah bejana kalian, jika seekor Anjing minum di dalamnya, dengan mencucinya tujuh kali, dan yang pertamanya dengan tanah.”
(HR. Muslim, Kitab Ath Thaharah Bab Hukmi Wulughil Kalbi, Juz. 2, Hal. 121 No hadits. 420. Abu Daud, Kitab Ath Thaharah Bab Al Wudhu bi Su’ril Kalbi, Juz.1, Hal. 103, No hadits. 65)

Berkata Imam Ash Shan’ani Rahimahullah ketika mengomentari hadits di atas:

وَهُوَ ظَاهِرٌ فِي نَجَاسَةِ فَمِهِ ، وَأُلْحِقَ بِهِ سَائِرُ بَدَنِهِ قِيَاسًا عَلَيْهِ ، وَذَلِكَ ؛ لِأَنَّهُ إذَا ثَبَتَ نَجَاسَةُ لُعَابِهِ ، وَلُعَابُهُ جُزْءٌ مِنْ فَمِهِ ، إذْ هُوَ عِرْقُ فَمِهِ ، فَفَمُهُ نَجِسٌ ، إذْ الْعِرْقُ جُزْءٌ مُتَحَلِّبٌ مِنْ الْبَدَنِ ، فَكَذَلِكَ بَقِيَّةُ بَدَنِهِ

Secara zhahir, mulutnya pun najis. Ketika dia menjilati seluruh badannya maka itu menjadi qiyas atasnya. Hal itu karena sudah pasti najisnya liur anjing, dan liur merupakan bagian dari mulutnya. Ketika mulutnya berkeringat maka mulutnya juga najis. Jika keringat bagian yang keluar dari badan, maka demikian juga anggota badan lainnya (juga najis).”
 (Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Juz. 1, Hal. 40. Al Maktabah Asy Syamilah)

وأما الخنزير فنجس لانه اسوأ حالا من الكلب لانه مندوب إلى قتله من غير ضرر فيه ومنصوص على تحريمه فإذا كان الكلب نجسا فالخنزير أولي واما ما تولد منهما أو من أحدهما فنجس لانه مخلوق من نجس فكان مثله

Sedang mengenai masalah babi itu dihukumi najis karena ia lebih jelek keadaannya ketimbang anjing karena disunahkan membunuhnya meski tidak menimbulkan bahaya dan telah di-nash tentang haramnya, maka bila anjing najis niscaya babi pun lebih utama untuk menerima hukum najis, sedang peranakan yang keluar dari salah satu keduanya juga dihukumi najis karena ia tercipta dari hewan najis maka sama hukumnya sama dengan induknya.
( alMajmuu’ II/568 )

Wallahu a'alam bish showab

Jumat, 21 Juni 2013

RISALAH BID'AH



Bid’ah secara bahasa berarti mencipta dan mengawali sesuatu. [Kitab Al-‘Itisham, I/36]
Bid’ah secara bahasa berasal dari kata bada’a yang artinya iftira-u syai-in min ghairi mitsaalin saabiqin: “membuat sesuatu tanpa contoh sebelumnya”.
Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Asy-Syathibi Al-Gharnathi mengatakan :
ابتدأ طريقة لم يسبقه إليها سابق فالبدعة إذن عبارة عن طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه

 Allah membuat alam semesta ini secara bid’ah, sesuai dengan Firman-Nya yang berbunyi :
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
artinya:  “Allah menciptakan alam semesta ini secara bid’ah, yakni tanpa ada contoh sebelumnya” (Al Baqoroh 117)
 Bermula dari hadits :
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578)

Hadits tentang bid’ah banyak di riwayatkan oleh Imam-Imam hadits, diantaranya riwayat Imam Ibnu majah, Imam Ahmad, Imam Abu Dawud dll..namun, dari sekian banyak hadits tentang bid’ah, hanya riwayat Imam An Nasa’i saja yang mengatakan bahwa “setiap kesesatan tempatnya dineraka”
Hadits diatas, dipergunakan oleh kaum salafy dengan hanya menggunakan teks aslinya saja secera zhohir, hingga mengartikan kata KULLU كُلَّ  adalah semua.
Padahal dalam gramer bahasa arab arti dari kata KULL  كُلَّ bukan hanya diartikan “semua”, namun juga bisa diartikan sebagian (kullu juz-i). Contohnya : didalam surat Al Ambiya ayat 30 :

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan DARI AIR Kami jadikan SEGALA SESUATU (setiap) yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman ?
 (QS. Al Ambiya 30)

Allah swt mengatakan dalam ayat ini bahwa segala sesuatu (setiap) yang hidup (makhluk hidup) diciptakan dari air( وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ ), sehingga timbul pertanyaan: adakah makhluk hidup yang TIDAK DICIPTAKAN DARI AIR..??? jawabnya : ADA !!!, yaitu jin dan malaikat.
Allah berfirman, “وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُومِ Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (QS. Al Hijr: 27). “Dan Kami telah menciptakan jin dari nyala api.” (QS. Ar Rahman : 15).
Rasulullah saw bersabda, “Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api dan Adam diciptakan dari apa yang disifatkan (diceritakan) kepada kamu (manusia)  [yaitu dari air sperma dan ovum].” (HR Muslim dari Aisyah di dalam kitab Az- Zuhd dan Ahmad di dalam Al Musnad)

Dalam ayat dan hadits diatas jelas bahwa tidak semua makhluk hidup diciptakan dari air, sehingga jelas pula bahwa tidak semua arti kata KULL  كُلَّ berarti semua.
Dalam ayat yang lain Alla swt berfirman :
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

Adapun kapal itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan kapal itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap kapal. (Al Kahfi 79)
Menurut kitab-kitab tafsir, tidak setiap kapal yang diambil oleh raja yang zholim itu, namun hanya kapal-kapal yang baik saja, sebagaimana dijelaskan dalam salah satu kitab tafsir :
Tafsir Jalalain
Tafsir al kahfi79.
(Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin) yang jumlahnya ada sepuluh orang (yang bekerja di laut) dengan menyewakannya, mereka menjadikannya sebagai mata pencaharian (dan aku bertujuan merusakkan perahu itu, karena di hadapan mereka) jika mereka kembali, atau di hadapan mereka sekarang ini (ada seorang raja) kafir (yang mengambil tiap-tiap perahu) yang masih baik (secara ghashab) yakni dengan cara merampasnya. Lafal Ghashban dinashabkan karena menjadi Mashdar yang kedudukannya menjelaskan tentang cara pengambilan itu.

Kembali kepada hadits : كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (setiap bid’ah adalah sesat),
Al Imam Asy-Syafi’i mengartikan hadits ini dalam kitab Fath al-Bari’ karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani pada hal : 330 juz XX,
Imam Syafi’i RA berkata :

اَلبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ, بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid’ah yang terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela.

dalam riwayat yang lain  Imam Syafi’i menjelaskan yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :

اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَة
Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah Bid’ah Dhalalah (sesat). Kedua, perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela.

al-Imam an-Nawawi mengatakan dalam shohih muslim jilid 3 hal 247 :

قال النووي: قوله صلى الله عليه وسلم: “وكل بدعة ضلالة” هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع، قال أهل اللغة: هي كل شيء عمل غير مثال سابق. قال العلماء البدعة خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرّمة ومكروهة والمباح
Imam Nawawi berkata: Sabda Rosululloh Shollaloohu ‘alaihi wa sallam, “Setiap bid’ah itu sesat” ini adalah umum yg dikhususkan dan maksudnya pengertian secara umum. Ahli bahasa mengatakan: Bid’ah yaitu segala sesuatu amal perbuatan yang tidak ada contoh sebelumnya. Ulama mengatakan bahwa bid’ah terbagi menjadi lima macam yaitu wajib, sunah, haram, makruh dan mubah
(shohih muslim jilid 3 hal 247)

Maka dari itu, dikarenakan bid’ah bukanlah hukum, sehingga bid’ah dihukumi menjadi lima bagian,
Contoh :
1. Wajib. Contohnya, antara lain, mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemunkaran, penyusunan al-Qur’an dalam bentuk mush-haf demi menjaga kemurniannya, menulis ayat Al-Quran dengan khat baru yang menggunakan titik dan baris agar tidak salah mengartikan Al-Quran, membukukan kitab Hadits, khutbah dengan bahasa sistematis agar dimengerti maknanya dan lain-lain.
2. Mandub (disukai). Contohnya, Shalat Tarawih sebulan penuh, pengajian rutin, membuat Al-Qur’an dalam program CD dan lain-lain.
3. Haram (sesat). Contoh, Naik haji selain ke Makkah, melakukan ritual dengan melarung sesaji di pantai selatan, turut merayakan dan memperingati Natal (untuk merayakan hari kelahiran Nabi Isa) dan lain-lain.
4. Makruh. Contoh, berwudhu’ dengan membiasakan lebih dari tiga kali basuhan.
5. Mubah. Contohnya sangat banyak, meliputi segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum agama.

Bid'ah menurut SYAIKHUL ISLAM ibnu taimiyah :

ﻣﺎ ﺧﺎﻟﻒ ﺍﻟﻨﺼﻮﺹ ﻓﻬﻮ ﺑﺪﻋﺔ ﺑﺎﺗﻔﺎﻕ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻭﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﺧﺎﻟﻔﻬﺎ ﻓﻘﺪ ﻻ ﻳﺴﻤﻰ ﺑﺪﻋﺔ
''sesuatu yang menyelisihi nash-nash maka ia adalah bid'ah dengan kesepakatan ULAMA muslimin dan sesuatu yang tidak dimaklumi bahwa ia menyelisihi nash-nash maka sungguh ia tidak dinamakan bid'ah.
( Majmu' fatawa,juz 20 halaman 163 ).

Selanjutannya syeikh ibnu taimiyah menukil perkataan Imam AsSyafi’i :

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ - ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ : - ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ ﺑﺪﻋﺘﺎﻥ : ﺑﺪﻋﺔ ﺧﺎﻟﻔﺖ ﻛﺘﺎﺑﺎ ﻭﺳﻨﺔ ﻭﺇﺟﻤﺎﻋﺎ ﻭﺃﺛﺮﺍ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ ] ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻬﺬﻩ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ . ﻭﺑﺪﻋﺔ ﻟﻢ ﺗﺨﺎﻟﻒ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻓﻬﺬﻩ ﻗﺪ ﺗﻜﻮﻥ ﺣﺴﻨﺔ ﻟﻘﻮﻝ ﻋﻤﺮ : ﻧﻌﻤﺖ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ ﻫﺬﻩ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺃﻭ ﻧﺤﻮﻩ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﺑﺈﺳﻨﺎﺩﻩ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺪﺧﻞ ﻭﻳﺮﻭﻯ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ : ﺇﺫﺍ ﻗﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻇﻬﺮ ﺍﻟﺠﻔﺎ ﻭﺇﺫﺍ ﻗﻠﺖ ﺍﻵﺛﺎﺭ ﻛﺜﺮﺕ ﺍﻷﻫﻮﺍﺀ
''Berkatalah asysyafi'i - rahimahullah- : bid'ah itu 2 : Bid'ah yang menyelisihi kitab dan sunnah dan ijma' dan atsar dari sebagian [sahabat] Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam maka ini adalah bid'ah dhalalah dan bid'ah yang tidak menyelisihi sesuatu apapun dari pada demikian maka ini sungguh ada ia itu hasanah karna perkataan sayidina 'umar : sebaik2 bid'ah adalah ini,perkataan (imam syafi'i) ini dan seumpamanya diriwayatkan oleh albayhaqi dengan isnad yang shahih dalam madkhal dan diriwayatkan dari malik rahimahullah sesungguhnya beliau berkata : apabila sedikit ilmu,niscaya lahirlah kekerasan dan apabila sedikit atsar niscaya besarlah hawa.”
(Majmu' fatawa,juz 20 halaman 163)

Ibnu Taimiyah membolehkan Maulid dalam kitabnya :

فتعظيم المولد ، واتخاذه موسمًا ، قد يفعله بعض الناس ، ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده ، وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وسلم
Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutin, segolongan orang terkadang melakukannya. Dan mereka mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah SAW..”
 ( Iqtidha sirathil Mustaqim juz 1 hal 297)

 Bolehkah kita mengadakan bid’ah ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita merujuk kepada Hadits Nabi saw yang menjelaskan bahwa  adanya bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah,
Nabi saw bersabda :

من سن فى الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجرمن عمل بها من غيران ينقص من أجورهم شئا ومن سن فى الإسلام سنة سئة فعليه وزرها ووزرمن عمل بها من غير ان ينقص من أوزارهم شئا
Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam islam akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa yang mengada-ngadakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapatkan dosa, dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.
(shahih muslim no 2398)

Apakah setiap perkara yang tidak ada contoh dari Nabi saw adalah pasti suatu perkara yang bid’ah..? yang dilontarkan oleh kaum wahaby..! seperti halnya MaulidurRosul saw..padahal telah dijelaskan oleh Imam mereka (Imam Ibnu Taimiyah) bahwasannya mengadakan Maulid bukan satu perkara yang bid’ah sebagaimana ucapannya di atas.
Mari kita buktikan bahwa Sahabat Nabi saw telah membuat satu perkara bid’ah (yang tidak ada contoh dari Nabi saw) dalam ibadah mahdhoh (ibadah murin) seperti sholat, haji dsb, bukan dalam perkara yang ringan seperti Maulid atau tahlil yang notabenenya adalah ritual/seremonial.
Sebagaimana seorang imam masjid quba yang selalu membaca surat qulhuallahu ahad pada setiap rokaat sholat yang tidak pernah dicontohkan Nabi saw.

Hadits pertama :

Ubaidullah berkata dari Zaid bin Tsabit dari  Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata :

:كَانَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِي مَسْجِدِ قُبَاءٍ، وَكَانَ كُلَّمَا اِفْتَتَحَ سُوْرَةً يَقْرَأُ بِهَا لَهُمْ فِي الصَّلاَةِ مِمَّا يَقْرَأُ بِهِ، اِفْتَتَحَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، حَتَّى يَفْرَغَ مِنْهَا. ثُمَّ يَقْرَأُ سُوْرَةً أُخْرَى مَعَهَا، وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ. فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ، فَقَالُوا: إِنَّكَ تَفْتَتِحُ بِهَذِهِ السُّوْرَةِ، ثُمَّ لاَ تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى تَقْرَأَ بِأُخْرَى، فَإِمَّا تَقْرَأُ بِهَا، وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا وَتَقْرَأَ بِأُخْرَى. فَقَالَ: مَا أَنَا بِتَارِكِهَا، إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِذَلِكَ فَعَلْتُ، وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ. وَكَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِهِمْ، وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ. فَلَمَّا أَتَاهُمْ النَّبِيُّ أَخْبَرُوْهُ الخَبَرَ، فَقَالَ: (يَا فُلاَنُ، مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ مَا يَأْمُرُكَ بِهِ أَصْحَابُكَ؟ وَمَا يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُوْمِ هَذِهِ السُّوْرَةِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ؟) فَقَالَ: إِنِّي أُحِبُّهَا، فَقَالَ:)
( حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَـنَّةَ )
"Seseorang (sahabat) dari al Anshar mengimami (shalat) mereka (para shahabat lainnya) di Masjid Quba. Setiap ia membuka bacaan (di dalam shalatnya), ia membaca sebuah surat dari surat-surat (lainnya) yang ia (selalu) membacanya. Ia membuka bacaan surat di dalam shalatnya dengan قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ, sampai ia selesai membacanya, kemudian ia lanjutkan dengan membaca surat lainnya bersamanya. Ia pun melakukan hal demikan itu di setiap raka’at (shalat)nya. (Akhirnya) para sahabat lainnya berbicara kepadanya, mereka berkata: “Sesungguhnya engkau membuka bacaanmu dengan surat ini, kemudian engkau tidak menganggap hal itu telah cukup bagimu sampai (engkau pun) membaca surat lainnya. Maka, (jika engkau ingin membacanya) bacalah surat itu (saja), atau engkau tidak membacanya dan engkau (hanya boleh) membaca surat lainnya”. Ia berkata: “Aku tidak akan meninggalkannya. Jika kalian suka untuk aku imami kalian dengannya, maka aku lakukan. Namun, jika kalian tidak suka, aku tinggalkan kalian,” dan mereka telah menganggapnya orang yang paling utama di antara mereka, sehingga mereka pun tidak suka jika yang mengimami (shalat) mereka adalah orang selainnya. Sehingga tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi mereka, maka mereka pun menceritakan kabar (tentang itu), lalu ia (Nabi) bersabda: “Wahai fulan, apa yang menghalangimu untuk melakukan sesuatu yang telah diperintahkan para sahabatmu? Dan apa pula yang membuatmu selalu membaca surat ini di setiap raka’at (shalat)?” Dia menjawab,"Sesungguhnya aku mencintai surat ini,” lalu Rasulullah saw bersabda: “Cintamu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga”.
[ HR al Bukhari, 1/268 no. 741; at Tirmidzi, 5/169 no. 2901; Ahmad, 3/141 no. 12455; dan lain-lain]

Berkata Hujjatul islam Al Imam Ibn Hajar Al Asqalaniy dalam kitabnya Fathul Baari Bisyarah shahih Bukhari mensyarahkan makna hadits ini beliau berkata :

وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ تَخْصِيصِ بَعْضِ الْقُرْآنِ بِمَيْلِ النَّفْسِ إِلَيْهِ وَالِاسْتِكْثَارِ مِنْهُ وَلَا يُعَدُّ ذَلِكَ هِجْرَانًا لِغَيْرِهِ

Pada riwayat ini menjadi dalil diperbolehkannya mengkhususkan sebagian surat Alqur’an dengan keinginan diri padanya, dan memperbanyaknya dengan kemauan sendiri, dan tidak bisa dikatakan bahwa perbuatan itu telah mengucilkan surat lainnya”
(Fathul Baari Bisyarah Shahih Bukhari Juz 3 hal 150 Bab Adzan) 

Hadits kedua :

Sahabat ‘abdullah bin ‘umar menambah-nambahi kalimat talbiyah dalam ibadah haji didepan Rosul saw setelah kalimat talbiyah yang diucapkan Rosul saw,

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ، قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، بْنِ عُمَرَ -رضى الله عنهما - أَنَّ تَلْبِيَةَ، رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ "‏ لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ ‏"‏ ‏.‏ قَالَ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ - رضى الله عنهما - يَزِيدُ فِيهَا لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ ‏.

Dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar RA, bahwa talbiyah Rasulullah SAW adalah:
"‏ لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ ‏"‏ (“Labbaikallaahumma labbaik labbaika laa syariika lak labbaik innal hamda wanni’mati laka walmulka laa syariika lak”) Nafi’ berkata; “Abdullah bin Umar selalu menambah bacaan talbiyah(يَزِيدُ فِيهَا  ) tersebut dengan berkata :
 لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ ‏ (“Labbaika wa sa’daika wal khoiru biyadaika labbaika warraghbaa’u ilaika wal’amalu.”)
( HR. Muslim 2868.)

Dalam riwayat Muslim di atas, jelas sekali bahwa Ibnu Umar melakukan tambahan terhadap talbiyah Rasulullah SAW.

Lalu  menambahkan bacaan ke dalam bacaan yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW tidaklah dilarang, selama tidak bertentangan dengan bacaan yang diajarkan tersebut.

Hadits ke tiga
Imam al-Bukhari meriwayatkan:

عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِيِّ قَالَ كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ قَالَ أَنَا قَالَ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ

Dari Rifa’ah bin Rafi’ al-Zuraqi, berkata: “Suatu hari kami menunaikan shalat di belakang Nabi SAW. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata, “sami’allaahu liman hamidah”, lalu seorang laku-laki di belakang beliau berkata: “Robbanaa wa lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubaarokan fiih.” Ketika selesai shalat, Nabi SAW bersabda: “Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?” Laki-laki tersebut menjawab: “Saya.” Nabi SAW bersabda: “Aku telah melihat tiga puluh lebih para Malaikat yang terburu-buru mencatat pahala bacaan tersebut, siapa di antara mereka yang mencatat terlebih dahulu.”
( HR al-Bukhari 799.)

Itulah sekelumit tentang pengertian bid’ah..semoga bermanfaat !

Minggu, 12 Mei 2013

POSISI KEPALA MAYIT KETIKA DISHOLATKAN




( قوله : ويقف غير مأموم إلخ ) ويوضع رأس الذكر لجهة يسار الإمام ويكون غالبه لجهة يمينه خلافا لما عليه عمل الناس الآن أما الأنثى والخنثى فيقف الإمام عند عجيزتهما ويكون رأسهما لجهة يمينه على عادة الناس الآن ع ش ، والحاصل أنه يجعل معظم الميت عن يمين المصلي ، فحينئذ يكون رأس الذكر جهة يسار المصلي ، والأنثى بالعكس إذا لم تكن عند القبر الشريف أما إن كانت هناك ، فالأفضل جعل رأسها على اليسار كرأس الذكر ليكون رأسها جهة القبر الشريف سلوكا للأدب كما قاله بعض المحققين .

Hasyiyah al-Bujairomi alaa al-Manhaj I/484

Menurut keterangan dalam ‘ibaroh diatas “Sebaiknya bila mayat lelaki, bagian kepala diletakkan diarah kirinya orang yang shalat (sebelah selatan untuk konteks Indonesia) sedang bila mayat wanita, bagian kepala diletakkan diarah kanannya orang yang shalat (sebelah utara untuk konteks Indonesia).

ويقف ندبا غير مأموم من إمام ومنفرد عند رأس ذكر وعجز غيره من أنثى وخنثى. ويوضع رأس الذكر لجهة يسار الإمام، ويكون غالبه لجهة يمينه، خلافا لما عليه عمل الناس الآن. أما الأنثى والخنثى فيقف الإمام عند عجيزتيهما ويكون رأسهما لجهة يمينه على عادة الناس الآن؛ كذا في الشبرا ملسي والبجيرمي والجمل وغيرهما من حواشي المصريين.

Fath al-‘Alaam III/172

Bagi Imam sholat dan orang yang sholat sendirian, disunnahkan memposisikan diri -ketika sholat janazah- di dekat kepala mayit laki-laki dan di dekat bokong mayit perempuan dan banci. Kepala mayit laki-laki diletakkan pada posisi arah kiri imam -sedangkan yang mentradisi ada pada arah kanan imam-, hal ini berbeda dengan yang biasa dilakukan masyarakat saat ini. Adapun mayit perempuan dan banci, maka imam memposisikan dirinya di dekat bokong janazah, sedangkan kepala janazah diletakkan pada posisi arah kanan sebagaimana biasa dilakukan saat ini.”

وَفِي الْبُجَيْرِمِيِّ مَا نَصُّهُ وَيُوضَعُ رَأْسُ الذَّكَرِ لِجِهَةِ يَسَارِ الْإِمَامِ وَيَكُونُ غَالِبُهُ لِجِهَةِ يَمِينِهِ خِلَافًا لِمَا عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْآنَ وَيَكُونُ رَأْسُ الْأُنْثَى وَالْخُنْثَى لِجِهَةِ يَمِينِهِ عَلَى عَادَةِ النَّاسِ الْآنَ ع ش وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يُجْعَلُ مُعْظَمُ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِ الْمُصَلِّي فَحِينَئِذٍ يَكُونُ رَأْسُ الذَّكَرِ جِهَةَ يَسَارِ الْمُصَلِّي وَالْأُنْثَى بِالْعَكْسِ إذَا لَمْ تَكُنْ عِنْدَ الْقَبْرِ الشَّرِيفِ أَمَّا إذَا كَانَتْ هُنَاكَ فَالْأَفْضَلُ جَعْلُ رَأْسِهَا عَلَى الْيَسَارِ كَرَأْسِ الذَّكَرِ لِيَكُونَ رَأْسُهَا جِهَةَ الْقَبْرِ الشَّرِيفِ سُلُوكًا لِلْأَدَبِ كَمَا قَالَهُ بَعْضُ الْمُحَقِّقِينَ ا هـ .

Dalam kitab al-Bujairomi terdapat keterangan yang redaksinya “Dan kepala mayat laki-laki diletakkan disebelah kirinya imam shalat janazah, sebagian besar anggauta tubuh mayat diletakkan sebelah kanannya berbeda dengan kebiasaan shalat janazah yang terjadi sekarang ini.
Sedang kepala mayat wanita serta khuntsa (orang berkelamin ganda) diletakkan disebelah kanan imam.
Kesimpulan “Sesungguhnya sebagian besar anggota mayat saat dishlalatkan berada disebelah kanan orang yang menshalatinya, maka kepala mayat laki-laki berada disebelah kirinya orang yang shalat janazah sedang wanita kebalikannya, hal yang demikian bila tidak berada pada kuburan yang mulia sedang bila disana maka sebaiknya meletakkan kepala mayat wanita disebelah kiri orang yang menshalatinya seperti mayat lelaki agar kepalanya kearah kuburan yang mulia demi menjaga sopan santun seperti keterangan yang disampaikan sebagian ulama yang muhaqqiqiin”.
Tuhfah al-Muhtaaj XI/181

Dalam permasalahan ini terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama, sebagaimana telah dimaklumi pada hampir semua perso’alan fiqih. Namun pendapat yg rojih/kuat berdasarkan dalil-dalil syar’i. Jika mayyit tersebut adalah laki-laki, maka jenazah itu diletakkan diarah kiblat kemudian imam berdiri pada posisi lurus dengan kepala si mayyit menghadap arah kiblat. Namun jika si mayat adalah seorang wanita, maka diletakkan diarah kiblat kemudian imam berdiri ditengahnya(antara kepala dan kakinya) dengan menghadap arah kiblat. Ini adalah pendapat madzhab syafi’I, Ahmad, dan Ishaq dan sebagian madzhab Hanafi.
(lihat Al Majmu’ 5/225, Syarh Al Ma’ani 1/284)
Asy-syaukani berkata:” inilah pendapat yg benar”

wallahu a'lam