Minggu, 12 Mei 2013

POSISI KEPALA MAYIT KETIKA DISHOLATKAN




( قوله : ويقف غير مأموم إلخ ) ويوضع رأس الذكر لجهة يسار الإمام ويكون غالبه لجهة يمينه خلافا لما عليه عمل الناس الآن أما الأنثى والخنثى فيقف الإمام عند عجيزتهما ويكون رأسهما لجهة يمينه على عادة الناس الآن ع ش ، والحاصل أنه يجعل معظم الميت عن يمين المصلي ، فحينئذ يكون رأس الذكر جهة يسار المصلي ، والأنثى بالعكس إذا لم تكن عند القبر الشريف أما إن كانت هناك ، فالأفضل جعل رأسها على اليسار كرأس الذكر ليكون رأسها جهة القبر الشريف سلوكا للأدب كما قاله بعض المحققين .

Hasyiyah al-Bujairomi alaa al-Manhaj I/484

Menurut keterangan dalam ‘ibaroh diatas “Sebaiknya bila mayat lelaki, bagian kepala diletakkan diarah kirinya orang yang shalat (sebelah selatan untuk konteks Indonesia) sedang bila mayat wanita, bagian kepala diletakkan diarah kanannya orang yang shalat (sebelah utara untuk konteks Indonesia).

ويقف ندبا غير مأموم من إمام ومنفرد عند رأس ذكر وعجز غيره من أنثى وخنثى. ويوضع رأس الذكر لجهة يسار الإمام، ويكون غالبه لجهة يمينه، خلافا لما عليه عمل الناس الآن. أما الأنثى والخنثى فيقف الإمام عند عجيزتيهما ويكون رأسهما لجهة يمينه على عادة الناس الآن؛ كذا في الشبرا ملسي والبجيرمي والجمل وغيرهما من حواشي المصريين.

Fath al-‘Alaam III/172

Bagi Imam sholat dan orang yang sholat sendirian, disunnahkan memposisikan diri -ketika sholat janazah- di dekat kepala mayit laki-laki dan di dekat bokong mayit perempuan dan banci. Kepala mayit laki-laki diletakkan pada posisi arah kiri imam -sedangkan yang mentradisi ada pada arah kanan imam-, hal ini berbeda dengan yang biasa dilakukan masyarakat saat ini. Adapun mayit perempuan dan banci, maka imam memposisikan dirinya di dekat bokong janazah, sedangkan kepala janazah diletakkan pada posisi arah kanan sebagaimana biasa dilakukan saat ini.”

وَفِي الْبُجَيْرِمِيِّ مَا نَصُّهُ وَيُوضَعُ رَأْسُ الذَّكَرِ لِجِهَةِ يَسَارِ الْإِمَامِ وَيَكُونُ غَالِبُهُ لِجِهَةِ يَمِينِهِ خِلَافًا لِمَا عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْآنَ وَيَكُونُ رَأْسُ الْأُنْثَى وَالْخُنْثَى لِجِهَةِ يَمِينِهِ عَلَى عَادَةِ النَّاسِ الْآنَ ع ش وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يُجْعَلُ مُعْظَمُ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِ الْمُصَلِّي فَحِينَئِذٍ يَكُونُ رَأْسُ الذَّكَرِ جِهَةَ يَسَارِ الْمُصَلِّي وَالْأُنْثَى بِالْعَكْسِ إذَا لَمْ تَكُنْ عِنْدَ الْقَبْرِ الشَّرِيفِ أَمَّا إذَا كَانَتْ هُنَاكَ فَالْأَفْضَلُ جَعْلُ رَأْسِهَا عَلَى الْيَسَارِ كَرَأْسِ الذَّكَرِ لِيَكُونَ رَأْسُهَا جِهَةَ الْقَبْرِ الشَّرِيفِ سُلُوكًا لِلْأَدَبِ كَمَا قَالَهُ بَعْضُ الْمُحَقِّقِينَ ا هـ .

Dalam kitab al-Bujairomi terdapat keterangan yang redaksinya “Dan kepala mayat laki-laki diletakkan disebelah kirinya imam shalat janazah, sebagian besar anggauta tubuh mayat diletakkan sebelah kanannya berbeda dengan kebiasaan shalat janazah yang terjadi sekarang ini.
Sedang kepala mayat wanita serta khuntsa (orang berkelamin ganda) diletakkan disebelah kanan imam.
Kesimpulan “Sesungguhnya sebagian besar anggota mayat saat dishlalatkan berada disebelah kanan orang yang menshalatinya, maka kepala mayat laki-laki berada disebelah kirinya orang yang shalat janazah sedang wanita kebalikannya, hal yang demikian bila tidak berada pada kuburan yang mulia sedang bila disana maka sebaiknya meletakkan kepala mayat wanita disebelah kiri orang yang menshalatinya seperti mayat lelaki agar kepalanya kearah kuburan yang mulia demi menjaga sopan santun seperti keterangan yang disampaikan sebagian ulama yang muhaqqiqiin”.
Tuhfah al-Muhtaaj XI/181

Dalam permasalahan ini terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama, sebagaimana telah dimaklumi pada hampir semua perso’alan fiqih. Namun pendapat yg rojih/kuat berdasarkan dalil-dalil syar’i. Jika mayyit tersebut adalah laki-laki, maka jenazah itu diletakkan diarah kiblat kemudian imam berdiri pada posisi lurus dengan kepala si mayyit menghadap arah kiblat. Namun jika si mayat adalah seorang wanita, maka diletakkan diarah kiblat kemudian imam berdiri ditengahnya(antara kepala dan kakinya) dengan menghadap arah kiblat. Ini adalah pendapat madzhab syafi’I, Ahmad, dan Ishaq dan sebagian madzhab Hanafi.
(lihat Al Majmu’ 5/225, Syarh Al Ma’ani 1/284)
Asy-syaukani berkata:” inilah pendapat yg benar”

wallahu a'lam

HADITS DHO’IF DAN HUKUM MENGAMALKAN HADITS DHO’IF



قال العلماء من المحد ثين والفقهاء وغيرهم ؛ يجوز ويستحب العمل فى الفضا ئل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف مالم يكن موضوعا  ٣  وأما الأحكام كالحلال والحرام والبيع والنكاح والطلاق وغيرذلك فلا يعمل فييها إلا بالحيث الصحيه أو الحسن إلا أن يكون فى احتياط في شيء من ذلك ، كما إذا ورد حديث ضعيف بكراهة بعض البيع أو الأنكحة ، فإن المستحب أن يتنزه عنه ولكن لايجب
------------------------------
( ٣)
مالم يكن موضوعا ؛ وفى معناه شديد الضعف فلا يجوز العمل نجبر من انفرد من كذاب، ومتهم . وبقى للعمل بالضعيف شرطان ؛ أن يكون له أصل شاهد لذلك كاندر اجه تحت عموم أوقاعدة كلية ، وأن لايعتقد عند العمل به ثبوته بل يعقد الاحتياط.

 (  الأذكار ص ٧)
Ulama hadits, ulama fiqih, dan ulama lainnya mengatakan bahwa diperbolehkan bahkan di sunnahkan mengamalkan hadits dho’if untuk keutamaan beramal, hal yang mengandung targhib (anjuran), dan yang mengandung tarhib (peringatan), selama hadits tersebut tidak berpredikat maudhu’(٣)
Masalah hukum seperti halal, haram, jual beli, nikah, dan thalaq dan lain-lainnya tidak boleh diamalkan melainkan dengan hadits shohih atau hadits hasan (*), kecuali hadis yang menyangkut masalah bersikap berhati-hati dalam suatu hal dari masalah-masalah tersebut.
Sebagai contoh ialah : apabila ada suatu hadits dho’if yang menyebutkan makruh melakukan sebagian transaksi jual beli atau makruh melakukan sebagian nikah, maka hal tersebut disunnahkan untuk dihindari, tetapi tidak bersifat wajib.
1.        (٣) selagi tidak berpredikat maudhu’, maksudnya ialah bukan hadits yang parah kedho’ifannya, untuk itu tidak boleh mengamalkan berita (hadits) seseorang yang menyendiri dalam periwayatannya, sedangkan ia berpredikat kadzdzab (pendusta) lagi muttaham (tertuduh tidak baik). Untuk mengamalkan hadits dho’if harus ada dua syarat : yaitu hendaknya hadits yang dimaksud mempunyai pokok yang membuktikan kebenarannya, seumpama makna yang dikandungnya itu termasuk kedalam pengertian umum atau kaidah kulliyah (general) dalil pokok, dan hendaknya ketika mengamalkannya tidak dianggap suatu ketetapan, melainkan sebagai tindakan ihthiyat (hati-hati)
2.        (*) baik lidzatihi maupun lighoirihi, ke dho’ifan suatu hadits dapat diperkuat oleh hadits lain yang terpercaya  diriwayatkan dari berbagai jalur, hingga  predikatnya menjadi hasan dan dapat dijadikan hujjah.

(al adzkar-imam nawawi hal 7-8)

Sabtu, 04 Mei 2013

Hukum Air Kencing Unta dan Binatang-binatang yang dimakan dagingnya




Akhir-akhir ini masyarakat mulai menggunakan air susu dan air kencing unta sebagai obat berbagai macam penyakit, dan ternyata banyak yang mendapatkan kesembuhan dengan cara meminum air susu dan air kencing unta. Bagaimana status hukumnya dalam Islam, apakah halal atau haram?
Sebelum membahas hukum mengkonsumsi air kencing unta untuk obat, perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang status air kencing unta, apakah suci atau najis ? 
Masalah Pertama : Hukum Air Kencing Unta dan Binatang-binatang yang dimakan dagingnya
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini   : (Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami : 1/ 160)
Pendapat Pertama : Air kencing unta tidak najis ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanabila (Utsaimin, Syarh Mumti’ : 1/ 208, 227) serta sebagian dari ulama Syafi’yah, seperti Ibnu Huzaimah, Ibnu Mundzir, Ibnu Hibban, Abu Sa’id al Isthihri, Royyani (Nawawi, al-Majmu’ : 2/ 549, Ibnu Hajar, Fath al-Bari : 1/ 404)
Dalil mereka adalah sebagai berikut :
Pertama : Hadist ‘Urayinin :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلِقَاحٍ وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا فَانْطَلَقُوا فَلَمَّا صَحُّوا قَتَلُوا رَاعِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتَاقُوا النَّعَمَ فَجَاءَ الْخَبَرُ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ فَبَعَثَ فِي آثَارِهِمْ فَلَمَّا ارْتَفَعَ النَّهَارُ جِيءَ بِهِمْ فَأَمَرَ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ وَسُمِرَتْ أَعْيُنُهُمْ وَأُلْقُوا فِي الْحَرَّةِ يَسْتَسْقُونَ فَلَا يُسْقَوْنَ
Dari Anas bin Malik berkata, "Beberapa orang dari 'Ukl atau 'Urainah datang ke Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga mereka pun sakit. Beliau lalu memerintahkan mereka untuk mendatangi unta dan meminum air kencing dan susunya. Maka mereka pun berangkat menuju kandang unta (zakat), ketika telah sembuh, mereka membunuh pengembala unta Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan membawa unta-untanya. Kemudian berita itu pun sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjelang siang. Maka beliau mengutus rombongan untuk mengikuti jejak mereka, ketika matahari telah tinggi, utusan beliau datang dengan membawa mereka. Beliau lalu memerintahkan agar mereka dihukum, maka tangan dan kaki mereka dipotong, mata mereka dicongkel, lalu mereka dibuang ke pada pasir yang panas. Mereka minta minum namun tidak diberi." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist di atas menunjukan bahwa air kencing unta tidak najis, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan ‘Urayinin yang terkena sakit untuk berobat dengan meminum air susu dan air kencing unta. Beliau tidak akan menyuruh untuk meminum sesuatu yang najis. Adapun air kencing hewan-hewan lain yang boleh dimakan juga tidak najis dengan mengqiyaskan kepada air kencing unta.
Hadist di atas juga berlaku bagi semua unta dan semua orang, tidak dikhusukan bagi Urayinin saja, karena pada seperti dalam kaedah ushul fiqh disebutkan bahwa :
العِبرَة بِعُمُومِ اللَّفظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ
“ Teks-teks Al Qur’an dan Sunnah itu yang dipakai adalah keumuman lafadhnya, bukan kekhususan sebabnya. ( Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, 1/ 89, Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Beirut, Dar Ihya Kutub al Arabiyah, 1957 : 1/ 32 )
Berkata Ibnu Mundzir :
وَمَن زَعَمَ أَنَّ هَذَا خَاص بِأولَئكِ الأَقوَام فَلم يُصِب ، إِذ الخَصَائِص لَا تَثبُت إِلّا بِدَلِيل  
“Barang siapa yang mengatakan bahwa hadits ini khusus orang-orang tersebut, maka orang itu tidak benar, karena kekhususan itu tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil. (Ibnu Hajar, Fath al-Bari :  1/ 404 )
Kedua : Hadist Anas bin Malik
عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي قَبْلَ أَنْ يُبْنَى الْمَسْجِدُ فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ
“Dari Anas berkata, "Sebelum masjid dibangun, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat di kandang kambing." (HR. Bukhari)  
Dibolehkan sholat di dalam kandang kambing menunjukkan bahwa kencing kambing tidak najis, karena kandang kambing pasti ada kencing dan kotoran kambing.
Ketiga : Jabir bin Samurah
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلَا تَوَضَّأْ قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ قَالَ نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ قَالَ أُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ قَالَ نَعَمْ قَالَ أُصَلِّي فِي مَبَارِكِ الْإِبِلِ قَالَ لَا
 Dari Jabir bin Samurah bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Apakah kami harus berwudhu karena makan daging kambing?" Beliau menjawab, "Jika kamu berkehendak maka berwudhulah, dan jika kamu tidak berkehendak maka janganlah kamu berwudhu." Dia bertanya lagi, "Apakah harus berwudhu disebabkan (makan) daging unta?" Beliau menjawab, "Ya. Berwudhulah disebabkan (makan) daging unta." Dia bertanya, "Apakah aku boleh shalat di kandang kambing?" Beliau menjawab, "Ya boleh." Dia bertanya, "Apakah aku boleh shalat di kandang unta?" Beliau menjawab, "Tidak."  (HR. Muslim)
Dibolehkannya sholat di dalam kandang dalam dua hadist di atas menunjukkan bahwa air kencing kambing adalah suci tidak najis, karena biasanya kandang kambing itu tidak bisa terlepas dari air kencing dan kotoran kambing.
Ketiga : Kaedah Fiqh yang disebut dengan al-Baraah al-asliyah (pada dasarnya segala sesuatu yang belum ada hukumnya itu kembali kepada asalnya) dan asal dari segala sesuatu itu suci termasuk air kencing unta dan kambing,  barang siapa yang menganggapnya najis, maka dia harus mendatangkan dalil, dan tidak didapatkan dalil ( Ini adalah perkataan Ibnu Mundzir (Fathu al Bari : 1/ 104),  lihat juga  Utsaimin, Syarh Mumti’ : 1/ 208, 227) 
Pendapat Kedua : Air kencing unta dan sejenisnya adalah najis. Ini adalah pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah (Nawawi, al Majmu’ : 2/ 549 , Khatib Syarbini, Mughni Muhtaj : 1/ 233 )
Berkata Qadhi Husain dari Ulama Syafi’iyah  :
“Menurut madzhab kami, bahwa apa yang keluar darinya seperti air kencing atau kotoran adalah najis, baik dari binatang yang  dagingnya dimakan atau yang dagingnya tidak dimakan, baik itu kotoran burung, maupun bukan burung. (Qadhi Husain, at-Ta’liqah, Mekkah, Nazar Musthofa Baaz, 2/ 931  )
Mereka berdalil dengan keumuman hadist-hadist yang menunjukkan bahwa air kencing itu najis, diantaranya adalah :
Pertama : Hadist Ibnu Abbas, 
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Dari Ibnu 'Abbas berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lewat di dekat dua kuburan, lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya keduanya sedang disiksa, dan keduanya disiksa bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak bersuci setelah kencing, sementara yang satunya suka mengadu domba." Kemudian beliau mengambil sebatang dahan kurma yang masih basah, beliau lalu membelahnya menjadi dua bagian kemudian menancapkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat pun bertanya, "Wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan ini?" beliau menjawab: "Semoga siksa keduanya diringankan selama batang pohon ini basah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist di atas menjelaskan bahwa orang yang tidak bersuci (cebok)  setelah kencing akan diadzab di dalam kuburan, hal ini menunjukkan bahwa air kencing itu najis, termasuk di dalamnya air kencing hewan yang boleh dimakan.
Kedua : Hadist orang Badui yang kencing di masjid
عن أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
 Abu Hurairah berkata, "Seorang Arab badui berdiri dan kencing di Masjid, lalu orang-orang ingin mengusirnya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda kepada mereka: "Biarkanlah dia dan siramlah bekas kencingnya dengan setimba air, atau dengan seember air, sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan." (HR. Bukhari)
Perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk menyiram bekas air kencing dengan air, menunjukkan bahwa air kencing itu najis, termasuk di dalamnya air kencing binatang yang boleh dimakan seperti unta dan kambing.
Ketiga :  Hadist Anas bin Malik
عَنْ أَنس قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَنَزَّهُوا مِنَ الْبَوْلِ ؛ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنَه
Dari Anas, bahwasanya ia berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alahi wassalam bersabda : “Bersihkan dari air kencing, karena sesungguhnya kebanyakan adzab kubur itu dari air kencing ( yang tidak dibersihkan ) “ (HR. Daruquthni) (Imam Daruquthni mengatakan bahwa yang benar dari  hadist ini adalah Mursal, tetapi dalam riwayat Abu Hurairah dan Ibnu Abbas sanadnya shohih ( Ibnu Hajar, at-Talkhis : 1/ 160, Abu Bakar Dinwari, al Mujalasah wa jawahir al Ilmi,  1/ 323 )
 Kesimpulan :
         Dari dua pendapat ulama tentang hukum air kencing unta, maka yang terliahat kuat dalilnya adalah pendapat yang mengatakan bahwa air kencing untu, kambing dan semua hewan yang boleh dimakan adalah suci dan tidak najis.
           Masalah Kedua : Hukum Berobat Dengan Minum Air Kencing Unta
Para ulama membolehkan berobat dengan minum air kencing  unta.
Adapun dalil mereka adalah sebagai berikut :
 Pertama : Hadist ‘Urayinin di atas
Hadits di atas bagi kelompok yang mengatakan bahwa air kencing unta tidak najis, maka tidak ada masalah. Dan dibolehkan berobat dengan sesuatu yang tidak najis
Bagi yang mengatakan bahwa air kencing unta najis, maka peristiwa dalam hadits tersebut adalah karena darurat. Sehingga dibolehkan berobat dengan air kencing unta– walaupun menurut mereka najis- karena darurat.
Berkata Khatib Syarbini :
وَ أَمَّا أَمرُه صلَّى اللُهُ عَليه وسلم العُرنِيِين بِشُربِ أَبوَالِ الإبل فَكَان لِلتّدَاوِى و التَّدَاوِي بِالنَّجَس جَائزٌ عِند فَقدِ الطَاهِرِالذي يَقُوم مَقَامَه
“Adapun perintah Rasulullah saw kepada  al-‘Arayinin untuk meminum kencing unta, tujuannya adalah untuk pengobatan. Dan pengobatan dengan sesuatu yang najis dibolehkan, jika memang yang suci tidak bisa menggantikannya . (Khatib Syarbini, Mughni Muhtaj : 1/ 233  )

Kedua : Hadist Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah bersabda : 
إِنَّ فِي أَبْوَالِ الْإِبِلِ وَأَلْبَانِهَا شِفَاءً لِلذَّرِبَةِ بُطُونُهُمْ
 “Sesungguhnya dalam air kencing unta dan susunya bisa untuk mengobati sakit perut mereka (rusak pencernaannya)“. (HR. Ahmad, Thabrani dan Thohawi) (Berkata al Haitsami : “ Di dalamnya ada Ibnu Lahi’ah sedang hadistnya hasan dan pada dirinya ada kelemahan, sedang rijal sanad yang lain bisa dipercaya “ )
            Hadist di atas secara tegas menyatakan bahwa air kencing unta dan susunya adalah obat untuk sakit pencernaan, dan ini menunjukkan kebolehan berobat dengan keduanya.
            Ketiga  : Terbukti secara ilmiyah dan uji laboratorium bahwa air kencing unta yang dicampur dengan susu unta, bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit, diantaranya penyakit  kanker, leukemia (kanker darah),  hepatitis, penyakit gula (diabetes) dan penyakit kulit.
            Dr. Faten Abdel-Rahman Khorshid, ilmuwan Saudi yang juga staf King Abdul Aziz University (KAAU) dan Presiden Tissues Culture Unit di Pusat Penelitian Medis King Fahd itu, setelah melakukan penelitian selama lima tahun di laboratorium menemukan bahwa partikel nano dalam air seni hewan onta dapat melawan sel kanker dengan baik.
Beliau juga mengatakan bahwa air seni onta mengandung zat alami yang bisa membasmi sel berbahaya, serta menjaga sel-sel sehat pada pasien pengidap kanker. Penyakit kanker yang bisa disembuhkan dengan susu dan air kencing unta meliputi kanker paru-paru, kanker darah, kanker perut, kanker usus besar, tumor otak, dan kanker payudara.

Kesimpulan :
Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa air kencing unta hukumnya tidak najis menurut pendapat yang benar. Oleh karena itu, dibolehkan berobat dengan air kencing unta, selain pernah diperintahkan oleh Rasulullah saw kepada beberapa orang yang terkena penyakit, begitu juga secara medis dan uji laboratorium ternyata air kencing unta banyak manfaatnya untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Wallahu A’lam.

Maroji’ :

1.       Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami : 1/ 160
2.       Utsaimin, Syarh Mumti’ : 1/ 208, 227 
3.       Nawawi, al-Majmu’ : 2/ 549, Ibnu Hajar, Fath al-Bari : 1/ 404
4.       Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, 1/ 89, Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Beirut, Dar Ihya Kutub al Arabiyah, 1957 : 1/ 32
5.       Ibnu Hajar, Fath al-Bari :  1/ 404
6.       Ini adalah perkataan Ibnu Mundzir (Fathu al Bari : 1/ 104),  lihat juga  Utsaimin, Syarh Mumti’ : 1/ 208, 227) 
7.       Nawawi, al Majmu’ : 2/ 549 , Khatib Syarbini, Mughni Muhtaj : 1/ 233
8.       Qadhi Husain, at-Ta’liqah, Mekkah, Nazar Musthofa Baaz, 2/ 931
9.       Imam Daruquthni mengatakan bahwa yang benar dari  hadist ini adalah Mursal, tetapi dalam riwayat Abu Hurairah dan Ibnu Abbas sanadnya shohih ( Ibnu Hajar, at-Talkhis : 1/ 160, Abu Bakar Dinwari, al Mujalasah wa jawahir al Ilmi,  1/ 323 )
10.   Khatib Syarbini, Mughni Muhtaj : 1/ 233