Para ulama
berbeda pendapat mengenai hukum mencukur jenggot. Dr Wahbah Zuhaili memaparkan
bahwa ulama Malikiyah dan Hanabilah mengharamkan mencukur jenggot, sedangkan
Hanafiyah menganggapnya sebagai makruh tahrim dan makruh tanzih di sisi
Syafi’iyah. Pernyataan Wahbah Zuhaili tersebut dapat dilihat dalam kitabnya,
Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, sebagai berikut :
اما إرخاء
أو
إعفاء
اللحية:
فهو
تركها
وعدم
التعرض
لها
بتغيير،
وقد
حرم
المالكية
والحنابلة
حلقها،
ولا
يكره
أخذ
ما
زاد
على
القبضة،
ولا
أخذ
ما
تحت
حلقه،
لفعل
ابن
عمر
ويكره
حلقها
تحريماً
عند
الحنفية،
ويكره
تنزيهاً
عند
الشافعية،
فقد
ذكر
النووي
في
شرح
مسلم
عشر
خصال
مكروهة
في
اللحية،
منها
حلقها،
إلا
إذا
نبت
للمرأة
لحية،
فيستحب
لها
حلقها.
Artinya : Adapun menurunkan dan membiarkan jenggot, yaitu
membiarkannya serta tidak melakukan perubahan, maka ulama Malikiyah dan
Hanabilah mengharamkan mencukurnya dan
tidak memakruhkan memotong yang lebih dari genggaman dan juga tidak memakruhkan
memotong yang dibawah halqum seseorang, karena mengikuti perbuatan Ibnu Umar.
Di sisi ulama Hanafiyah makruh tahrim mencukurnya dan makruh tanzih di sisi
ulama Syafi’iyah. Al-Nawawi dalam Syarh Muslim telah menyebut sepuluh perkara
yang makruh pada jenggot, sebagiannya mencukurnya kecuali apabila tumbuh
jenggot itu pada seorang perempuan, maka disunatkan mencukurnya.
( Dr Wahbah Zuhaili,
Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 308)
Kesimpulan
Wahbah Zuhaili di atas dapat pula ditelusuri dalam kitab-kitab mazhab-mazhab
empat, yaitu sebagai berikut :
a. Ulama Hanafiyah :
1. Kitab Radd
al-Muhtar ‘ala Dar al-Mukhtar, karangan Ibnu Abidin :
وَلِذَا يَحْرُمُ
عَلَى
الرَّجُلِ
قَطْعُ
لِحْيَتِهِ
Artinya : Karena itu, haramlah atas laki-laki memotong
jenggotnya.
(Ibnu Abidin, Radd al
Muhtar’ala Dar al mukhtar, Maktabah syamilah, juz XXVII, hal.33)
2. Kitab Badaa-i’
al-Shanaa-i’ fi Tartib al-Syara-i’, karangan Abu Bakar al-Kasany
أَنَّ حَلْقَ
اللِّحْيَةِ
مِنْ
بَابِ
الْمُثْلَةِ
Artinya :
Sesungguhnya mencukur jenggot termasuk dalam bab mutslah.
( Abu Bakar
al-Kasany, Badaa-i’ al-Shanaa-i’ fi Tartib al-Syara-i’, Maktabah Syamilah, Juz.
IV, Hal. 437)
b. Ulama Malikiyah :
1. Kitab Hasyiah
al-Dusuqi ‘ala Syarh al-Kabir, karya Muhammad al-Dusuqi :
يَحْرُمُ عَلَى
الرَّجُلِ
حَلْقُ
لِحْيَتِهِ
Artinya : Haram atas laki-laki mencukur jenggot.
( Al-Dusuqi, Hasyiah
al-Dusuqi ‘ala Syarh al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 290)
2. Kitab Bulghah
al-Saalik li Aqrab al-Masalik, karya Syekh Ahmad al-Shawi :
قوله : ( بحلق
لحيته
و
لا
تسخيم
وجهه
) : أي
يحرم
ذلك
Artinya : Perkataan Mushannif : (Tidak dita’zir dengan
mengukur jenggot dan tidak menghitamkan mukanya) artinya haram yang demikian
itu.
( Ahmad Shawi,
Bulghah al-Saalik li Aqrab al-Masalik, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz.
IV, Hal. 81)
Qadhi ‘Iyazh, salah seorang ulama terkemuka dari kalangan
Malikiyah berpendapat bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan makruh, sebagaimana pendapat yang masyhur dikalangan
Malikiyah. Hal ini sebagaimana disebut dalam kitab Tharh al-Tatsrib karangan
al-Hafizh al-‘Iraqi sebagai berikut :
قال القاضي
عياض
يكره
حلقها
وقصها
وتحريقها
Artinya : Qadhi ‘Iyazh mengatakan : makruh mencukur, memotong
dan membakar jenggot.
( Al-Hafizh al-Iraqi,
Tharh al-Tatsrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Juz. II, Hal. 83)
c. Ulama Hanabilah
1. Kitab al-Furu’,
karangan Ibnu Muflih :
وَيُعْفِي لِحْيَتَهُ
،
وَفِي
الْمَذْهَبِ
مَا
لَمْ
يُسْتَهْجَنْ
طُولُهَا
وَيَحْرُمُ
حَلْقُهَا
ذَكَرَهُ
شَيْخُنَا
Artinya : Dibiarkan jenggotnya, di dalam mazhab selama tidak
dikuatirkan buruk panjangnya dan haram mencukurnya, itu disebut oleh guru kami.
( Ibnu Muflih,
al-Furu’, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 92)
2. Kitab Kasyf
al-Qana’ ‘an Matn al-Iqna’ :
( وَيُحَرَّمُ ) التَّعْزِيرُ ( بِحَلْقِ
لِحْيَتِهِ
) لِمَا
فِيهِ
مِنْ
الْمُثْلَةِ
Artinya : Haram ta’zir dengan cara mencukur jenggotnya, karena
hal itu termasuk mutslah
( Mansur bin Yunus
al-Buhuti al-Hanbali, Kasyf al-Qana’ ‘an Matn al-Iqna’, Maktabah Syamilah, Juz.
XX, Hal. 492)
d. Ulama Syafi’iyah
Sedangkan ulama Syafi’iyah berbeda pendapat dalam menentukan
hukum mencukur jenggot, namun yang mu’tamad yang dianggap sebagai mazhab adalah
pendapat yang menyatakan makruh,
sebagaimana terlihat dalam kutipan kitab-kitab Syafi’iyah di bawah ini :
a. Kitab Fathul
Mu’in karangan Zainuddin al-Malibari :
ويحرم حلق
لحية،
وخضب
يدي
الرجل
ورجليه
بحناء،
خلافا
لجمع
فيهما.
وبحث
الاذرعي
كراهة
حلق
ما
فوق
الحلقوم
من
الشعر.وقال
غيره
إنه
مباح.
Artinya : Haram mencukur jenggot dan mewarnai dua tangan
seorang laki-laki dan dua kakinya dengan inai, khilaf dengan sekelompok ulama
pada masalah keduanya. Al-Azra’i telah membahas makruh mencukur bulu di atas
halqum, sedangkan lainnya mengatakan mubah.
( Zainuddin
al-Malibary, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra,
Semarang, Juz. II, Hal. 340)
b. Al-Nawawi
dalam Syarah Muslim telah menyebut perkara-perkara yang makruh pada jenggot,
sebagiannya yaitu :
الثانية عشر
حلقها
الا
إذا
نبت
للمرأة
لحية
فيستحب
لها
حلقها
Artinya : Yang kedua belas adalah mencukurnya kecuali
apabila tumbuh jenggot itu pada seorang perempuan, maka disunatkan mencukurnya.
( Al-Nawawi, Syarh
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 149-150)
c. Kitab I’anah
al-Thalibin, karangan al-Bakri al-Dimyathi dalam mengomentari pernyataan
pengarang Fathul Mu’in di atas menyebutkan :
المعتمد عند
الغزالي
وشيخ
الإسلام
وابن
حجر
في
التحفة
والرملي
والخطيب
وغيرهم:
الكراهة
Artinya : Pendapat yang mu’tamad di sisi al-Ghazali, Syekh
Islam, Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib dan lainnya
adalah makruh.
(Al-Bakri
al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 340)
d. Kitab Asnaa
al-Mathalib, karangan Zakariya al-Anshari :
(وَ) يُكْرَهُ (نَتْفُهَا)
أَيْ
اللِّحْيَةِ
أَوَّلَ
طُلُوعِهَا
إيثَارًا
لِلْمُرُودَةِ
وَحُسْنِ
الصُّورَةِ
Artinya : Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk
nampak seperti orang yang baru tumbuh jenggot dan untuk tampilan yang bagus.
(Zakariya al-Anshari,
Asnaa al-Mathalib, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 551)
e. Kitab Tuhfah
al-Muhtaj, karangan Ibnu Hajar al-Haitamy :
ذَكَرُوا هُنَا
فِي
اللِّحْيَةِ
وَنَحْوِهَا
خِصَالًا
مَكْرُوهَةً
مِنْهَا
نَتْفُهَا
وَحَلْقُهَا
Artinya : Mereka (ulama) telah menyebut di sini berkenaan
dengan jenggot dan seumpamanya tentang perkara-perkara yang dimakruhkan, di
antaranya mencabut dan mencukur jenggot.
(Ibnu Hajar
al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi al-Syarwani ‘ala
al-Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. IX, Hal. 375-376)
f. Kitab Mughni
al-Muhtaj, karangan Khatib Syarbaini :
و يُكْرَهُ
نَتْفُْ
اللِّحْيَةِ
أَوَّلَ
طُلُوعِهَا
إيثَارًا
لِلْمُرُودَةِ
Artinya : Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk
nampak seperti orang yang baru tumbuh jenggot.
(Khatib Syarbaini,
Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. IV, Hal. 397)
g. Kitab Hasyiah
Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj:
(قَوْلُهُ أَوْ يَحْرُمُ كَانَ
خِلَافَ
الْمُعْتَمَدِ
إلَخْ)
قَالَ
فِي
شَرْحُ
الْعُبَابِ
فَائِدَةٌ
قَالَ
الشَّيْخَانِ
يُكْرَهُ
حَلْقُ
اللِّحْيَةِ
وَاعْتَرَضَهُ
ابْنُ
الرِّفْعَةُ
فِي
حَاشِيَةِ
الْكَافِيَةِ
بِأَنَّ
الشَّافِعِيَّ
- رَضِيَ
اللَّهُ
تَعَالَى
عَنْهُ
- نَصَّ
فِي
الْأُمِّ
عَلَى
التَّحْرِيمِ
قَالَ
الزَّرْكَشِيُّ
وَكَذَا
الْحَلِيمِيُّ
فِي
شُعَبِ
الْإِيمَانِ
وَأُسْتَاذُهُ
الْقَفَّالُ
الشَّاشِيُّ
فِي
مَحَاسِنِ
الشَّرِيعَةِ
Artinya : (Perkataan mushannif : “atau haram, maka pendapat
yang menyalahi yang mu’tamad”), dikatakan dalam Syarh al-‘Ubab : “Faedah : Kedua Syekh (yaitu Nawawi dan Rāfi'ī)
menganggap makruh mencukur jenggot. Ibnu Ar-Rifa'ah menentang pendapat mereka
dalam Hasyiyah al-Kāfiyah karena ada nash dari Imam Syafi'i r.a. dalam
kitabnya, al-Umm haram mencukur jenggot. Az-Zarkasyī menyatakan bahwa hal yang
sama dinyatakan oleh Al-Hulaimi dalam kitabnya, Syu'ab Al-Iman, serta gurunya
Al-Qaffāl Ash-Syasyi dalam Mahasin Asy-syari'ah.
(Syarwani, Hawasyi
al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. IX, Hal.
376)
Apabila kita perhatikan kutipan-kutipan di atas, maka dapat
diterangkan di sini bahwa kebanyakan ulama Syafi’iyah berpendapat makruh mencukur jengggot, yaitu
al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i, Syekh Islam (Zakariya al-Anshari), Ibnu Hajar
al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib, dan lainnya. Sedangkan yang
menyatakan haram adalah Ibnu al-Rifa’ah, al-Hulaimy dan al-Qafal al-Syasyi.
Kita berkesimpulan bahwa pendapat makruh mencukur jengggot, yaitu pendapat
al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i, Syekh Islam (Zakariya al-Anshari), Ibnu Hajar
al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib merupakan pendapat mu’tamad
dalam mazhab Syafi’i karena berdasarkan kesepakatan ulama Syafi’iyah
mutaakhiriin bahwa yang menjadi ikutan dalam mazhab Syafi’i adalah pendapat
yang dipegang oleh al-Nawawi dan al-Rafi’i, kemudian Ibnu Hajar al-Haitamy,
al-Ramli, Zakariya al-Anshari, al-Khatib dan kemudian ulama-ulama lainnya yang
berada di bawahnya. Dalam Fathul Mu’in disebutkan :
إعلم أن
المعتمد
في
المذهب
للحكم
والفتوى
ما
اتفق
عليه
الشيخان،
فما
جزم
به
النووي
فالرافعي
فما
رجحه
الاكثر
فالاعلم
فالاورع.
Artinya : Ketahuilah bahwa sesungguhnya yang mu’tamad dalam
mazhab untuk penetapan hukum dan fatwa adalah apa yang menjadi kesepakatan dua
syaikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i), kemudian yang dipastikan oleh al-Nawawi, kemudian
oleh al-Rafi’i, kemudian hukum yang ditarjih oleh kebanyakan, kemudian yang
lebih ‘alim dan kemudian yang lebih wara’.
(Zainuddin
al-malibari, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha putra,
Semarang, Juz. IV, Hal. 233-234)
Al-Bakri al-Dimyathi dalam I’anah al-Thalibin
(kitab hasyiah bagi kitab Fathul Mu’in di atas) menjelaskan :
واعلم أنه
إذا
اختلف
كلام
المتأخرين
عن
الشيخين
- كشيخ
الاسلام
وتلامذته
- فقد
ذهب
علماء
مصر
إلى
اعتماد
ما
قاله
الشيخ
محمد
الرملي،
خصوصا
في
نهايته،
لانها
قرئت
على
المؤلف
إلى
آخرها
في
أربعمائة
من
العلماء
فنقدوها
وصححوها.
وذهب
علماء
حضرموت
وأكثر
اليمن
والحجاز
إلى
أن
المعتمد
ما
قاله
الشيخ
أحمد
بن
حجر
في
كتبه،
بل
في
تحفته
لما
فيها
من
الاحاطة
بنصوص
الامام
مع
مزيد
تتبع
المؤلف
فيها،
ولقراءة
المحققين
لها
عليه
الذين
لا
يحصون،
ثم
إذا
لم
يتعرضا
بشئ
فيفتي
بكلام
شيخ
الاسلام،
ثم
بكلام
الخطيب،
ثم
بكلام
الزيادي،
ثم
بكلام
ابن
قاسم،
ثم
بكلام
عميرة،
ثم
بكلام
ع
ش،
ثم
بكلام
الحلبي،
ثم
بكلام
الشوبري،
ثم
بكلام
العناني،
ما
لم
يخالفوا
أصول
المذهب.
Artinya : Ketahuilah bahwa sesungguhnya apabila khilaf kalam
muatakhirin mengenai pendapat dua syeikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i) seperti
Syeikh Islam dan murid-muridnya, maka ulama Mesir berpegang kepada pendapat
yang dipegang oleh Syeikh Muhammad al-Ramli, terutama dalam kitab al-Nihayah,
karena kitab tersebut sudah dibaca kepada pengarangnya hingga akhirnya pada
empat ratus ulama dimana mereka mengkritik dan mentashihnya. Ulama Hazramaut
dan kebanyakan ulama Yaman dan Hijaz berpedapat bahwa yang mu’tamad adalah
pendapat Syeikh Ahmad Ibnu Hajar dalam semua kitabnya, bahkan terutama dalam
Tuhfah, karena dalamnya diperhatikan nash-nash imam serta lebih teliti
pengarangnya serta juga karena telah dibaca para ulama muhaqiqin yang tidak
terbatas banyaknya. Kemudian apabila keduanya (Ibnu Hajar dan al-Ramli) tidak
mengemukakan pendapat apapun, maka difatwakan dengan kalam Syeikh Islam, kalam
al-Khatib, al-Ziyadi, Ibnu Qasim, ‘Amirah, ع
ش (‘Ali Syibran al-Malusi), al-Halabi,
al-Syaubari, dan kemudian kalam al-‘Inaani, selama mereka itu tidak menyalahi
ushul mazhab.
(Al-Bakri
al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 234)
Hal senada dengan di atas, juga telah dikemukakan oleh
Sayyed ‘Alawi bin Ahmad al-Saqaf dalam kitabnya, al-Fawaid al-Makkiyah ( ‘Alawi bin Ahmad al-Saqaf , al-Fawaid al-Makkiyah, dicetak dalam kitab
Sab’ah al-Kutub al-Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 43-44) dan
al-Faqih al-Muhaqqiq Sayyed Ahmad Miqaari Syumailah al-Ahdal dalam kitabnya,
Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila ma’rifah Rumuz al-Minhaj(Sayyed Ahmad Miqaari Syumailah al-Ahdal, Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj
ila ma’rifah Rumuz al-Minhaj, Hal. 31-33 dan 84-85) dan lainnya.
Beberapa pendapat mengatakan harom :
1. Mereka
mengatakan keharaman mencukur jenggot merupakan ijmak ulama. Mereka beralasan
dengan keterangan sebagai berikut :
a. Keterangan
Ibn Hazm dalam kitabnya, Maratib al-Ijma’, sebagai berikut :
واتفقوا أن
حلق
جميع
اللحية
مثلة
لا
تجوز
Artinya : Mereka sepakat bahwa mencukur jenggot merupakan
perbuatan mutslah yang tidak dibolehkan.
( Ibnu Hazm, Maratib
al-Ijmak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, , Hal. 157)
Dakwaan
Ibn Hazm ini tidak dapat diterima, karena jelas sekali bertentangan dengan kenyataan bahwa status hukum mencukur
jenggot terjadi khilaf di antara ulama Islam sebagaimana terlihat pada
penjelasan di atas. Seandainya keterangan Ibn Hazm ini benar adanya, tentunya
ulama besar sekaliber al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i, Ibnu Hajar, al-Ramli, Zakariya al-Anshari,
Qadhi ‘Iyazh dan al-Khatib tidak akan
berfatwa dengan fatwa yang menyalahi ijma’, apalagi ini bukan hanya difatwa
oleh satu orang atau dua orang ulama, bahkan oleh kebanyakan ulama yang menjadi
ikutan dikalangan pengikut Syafi’i plus Qadhi ‘Iyazh dari kalangan Malikiyah.
Perlu
dicatat bahwa Ibn Hazm ini sebagaimana dimaklumi adalah pengikut Mazhab
Zhahiriyah dimana fatwanya dalam bidang agama sering dianggap syaz (ganjil) dan
tidak dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam bab mura’ah (memelihara)
khilaf dalam fiqh. Imam Haramain mengatakan :
ان المحققين
لا
يقيمون
لخلاف
اهل
الظاهر
وزنا
Artinya : Sesungguhnya ulama muhaqqiq tidak menjadi timbangan
bagi khilaf Ahlu Zhahir.
( Alawi bin Ahmad
al-Saqaf , al-Fawaid al-Makkiyah,
dicetak dalam kitab Sab’ah al-Kutub al-Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal.
69)
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan :
فَلَوْ فُرِضَ
أَنَّ
دَاوُد
قَائِلٌ
بِحِلِّ
ذلك
لم
يُلْتَفَتُ
إلَيْهِ
على
أَنَّ
كَثِيرِينَ
من
أَصْحَابِنَا
مَنَعُوا
من
تَقْلِيدِهِ
كَسَائِرِ
الظَّاهِرِيَّةِ
لِأَنَّهُمْ
لِإِنْكَارِهِمْ
الْقِيَاسَ
الْجَلِيَّ
يَرْتَكِبُونَ
السَّفْسَافَ
من
الْآرَاءِ
فلم
يُعْتَدَّ
بِآرَائِهِمْ
Artinya : Seandainya ditaqdirkan bahwa Daud berpendapat
dengan demikian itu (boleh nikah tanpa wali dan saksi), maka tidak boleh
memperhatikannya karena kebanyakan ashab kita melarang taqlidnya sebagaimana
halnya golongan Zhahiriyah lainnya, karena mereka mengingkari qiyas jalii
(qiyas yang terang) dan mereka dihinggapi pikiran yang buruk, sehingga tidak
diperhitungkan pendapat mereka.
( Ibnu Hajar
al-Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Juz. IV, Hal. 105)
b. Keterangan
al-Kamal bin al-Himam dalam kitab Fathul Qadir, sebagai berikut :
وَأَمَّا الْأَخْذُ
مِنْهَا
وَهِيَ
دُونَ
ذَلِكَ
كَمَا
يَفْعَلُهُ
بَعْضُ
الْمَغَارِبَةِ
وَمُخَنَّثَةُ
الرِّجَالِ
فَلَمْ
يُبِحْهُ
أَحَدٌ
Artinya : Adapun memotong jenggot yang panjangnya kurang
dari genggaman sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang Moroko dan para
laki-laki banci, maka tidak seorangpun yang mengatakan mubah.
(Al-Kamal bin
al-Himam, Fath al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. IV, hal. 370)
Perkataan Ibn al-Himam “tidak seorangpun yang mengatakan
mubah” bukanlah harus diartikan dengan haram, tetapi berkemungkinan juga
mengandung pengertian meniadakan mubah, sehingga perkataan tersebut masih
berkemungkinan bermakna yang mencakup makruh dan haram. Pengertian terakhir ini
haruslah menjadi makna dari perkataan tersebut mengingat banyak ulama-ulama
besar dalam mazhab yang berpendapat makruh mencukur jenggot disamping banyak
juga yang berpendapat haram. Dengan demikian perkataan Ibn al-Himam ini tidak
menjadi keterangan bahwa beliau berpendapat telah terjadi ijma’ haram mencukur
jenggot.
2. Mereka
mengatakan Imam Syafi’i sendiri mengatakan hukum mencukur jenggot tidak
dibolehkan, alias haram, sebagaimana tersebut dalam kitab al-Um, yaitu sebagai
berikut :
والحلاق ليس
بجناية
لان
فيه
نسكا
في
الرأس
وليس
فيه
كثير
ألم
وهو
وإن
كان
في
اللحية
لا
يجوز
فليس
كثير
ألم
ولا
ذهاب
شعر
لانه
يستخلف
Artinya : Mencukur rambut bukanlah jinayat, karena ada
ibadah pada mencukurkan kepala dan juga karena tidak ada rasa sakit yang
berlebihan padanya. Mencukur, meskipun jenggot tidak dibolehkan, namun tidak
ada rasa sakit yang berlebihan dan tidak menyebabkan hilang rambut karena ia
akan tumbuh lagi.
( Imam Syafi’i,
al-Um, Dar al-Wifa’, Juz. VII, Hal. 203)
Perkataan Imam
Syafi’i “laa yajuz” di atas, memang zhahirnya bisa bermakna haram, tetapi masih
berkemungkinan bermakna nafi al-jawaz al-mustawi baina al-tharfaini (menafikan
boleh dengan makna menafikan sama antara dua sisi perbuatan, yaitu sisi
melakukan atau tidak melakukannya) sehingga perkataan Syafi’i tersebut masih
berkemungkinan bermakna yang mencakup makruh dan haram sebagaimana penjelasan
terhadap perkataan Ibn al-Himam di atas. Mencakup makruh, karena makruh lebih
rajih kepada tidak melakukan suatu perbuatan. Penjelasan yang mirip seperti ini
juga pernah dilakukan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam mengomentari perkataan
al-Hulaimy : “la yahillu zalika” (tidak halal yang demikian itu, yaitu mencukur
jenggot). Al-Haitamy mengatakan :
وَلَا يُنَافِيهِ
قَوْلُ
الْحَلِيمِيِّ
لَا
يَحِلُّ
ذَلِكَ
لِإِمْكَانِ
حَمْلِهِ
عَلَى
أَنَّ
الْمُرَادَ
نَفْيُ
الْحِلِّ
الْمُسْتَوِي
الطَّرَفَيْنِ
Artinya : Perkataan al-Hulaimy “tidak halal yang demikian”
tidak menafikan kemakruhan mencabut dan mencukur jenggot, karena masih mungkin
menempatkan maksudnya itu adalah nafi halal yang sama dua sisi perbuatan.
(Ibnu Hajar
al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi al-Syarwani ‘ala
al-Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. IX, Hal. 376)
Dari keterangan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum
mencukur jenggot adalah khilaf ma
baiyna al makruh wa al harom, bukan
mubah. Wallahu a’lam