Minggu, 12 Mei 2013

HADITS DHO’IF DAN HUKUM MENGAMALKAN HADITS DHO’IF



قال العلماء من المحد ثين والفقهاء وغيرهم ؛ يجوز ويستحب العمل فى الفضا ئل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف مالم يكن موضوعا  ٣  وأما الأحكام كالحلال والحرام والبيع والنكاح والطلاق وغيرذلك فلا يعمل فييها إلا بالحيث الصحيه أو الحسن إلا أن يكون فى احتياط في شيء من ذلك ، كما إذا ورد حديث ضعيف بكراهة بعض البيع أو الأنكحة ، فإن المستحب أن يتنزه عنه ولكن لايجب
------------------------------
( ٣)
مالم يكن موضوعا ؛ وفى معناه شديد الضعف فلا يجوز العمل نجبر من انفرد من كذاب، ومتهم . وبقى للعمل بالضعيف شرطان ؛ أن يكون له أصل شاهد لذلك كاندر اجه تحت عموم أوقاعدة كلية ، وأن لايعتقد عند العمل به ثبوته بل يعقد الاحتياط.

 (  الأذكار ص ٧)
Ulama hadits, ulama fiqih, dan ulama lainnya mengatakan bahwa diperbolehkan bahkan di sunnahkan mengamalkan hadits dho’if untuk keutamaan beramal, hal yang mengandung targhib (anjuran), dan yang mengandung tarhib (peringatan), selama hadits tersebut tidak berpredikat maudhu’(٣)
Masalah hukum seperti halal, haram, jual beli, nikah, dan thalaq dan lain-lainnya tidak boleh diamalkan melainkan dengan hadits shohih atau hadits hasan (*), kecuali hadis yang menyangkut masalah bersikap berhati-hati dalam suatu hal dari masalah-masalah tersebut.
Sebagai contoh ialah : apabila ada suatu hadits dho’if yang menyebutkan makruh melakukan sebagian transaksi jual beli atau makruh melakukan sebagian nikah, maka hal tersebut disunnahkan untuk dihindari, tetapi tidak bersifat wajib.
1.        (٣) selagi tidak berpredikat maudhu’, maksudnya ialah bukan hadits yang parah kedho’ifannya, untuk itu tidak boleh mengamalkan berita (hadits) seseorang yang menyendiri dalam periwayatannya, sedangkan ia berpredikat kadzdzab (pendusta) lagi muttaham (tertuduh tidak baik). Untuk mengamalkan hadits dho’if harus ada dua syarat : yaitu hendaknya hadits yang dimaksud mempunyai pokok yang membuktikan kebenarannya, seumpama makna yang dikandungnya itu termasuk kedalam pengertian umum atau kaidah kulliyah (general) dalil pokok, dan hendaknya ketika mengamalkannya tidak dianggap suatu ketetapan, melainkan sebagai tindakan ihthiyat (hati-hati)
2.        (*) baik lidzatihi maupun lighoirihi, ke dho’ifan suatu hadits dapat diperkuat oleh hadits lain yang terpercaya  diriwayatkan dari berbagai jalur, hingga  predikatnya menjadi hasan dan dapat dijadikan hujjah.

(al adzkar-imam nawawi hal 7-8)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar