PENGESAHAN NIKAH
وفى الدعوى
بنكاح
على
امرأة
ذكر
صحته
وشروطه
من
نحو
ولى
وشاهدى
عدول
1. Pengakuan perkawinan dengan seorang perempuan harus dapat
menyebutkan sahnya perkawinan dahulu dari
umpamanya wali dan dua orang saksi yang adil. (I’anatut Thalibin IV :
254).
فإذا شهدت
لها
بينة
على
وقف
الدعوى
ثبتت
الزوجية
والإرث
2. Maka jika telah
ada saksi-saksi yang menyaksikan atas perempuan itu yang sesuai dengan
gugatannya itu, maka tetaplah pernikahannya itu. (Bughyatul Musytarsyidin :
298).
ويقبل إقرار
البـالغة
العـاقلـة
بالنكاح
3. Diterima pengakuan
nikahnya seorang perempuan yang aqil baligh. (Tuhfah IV : 133).
وفى الدعوى
بنكاح
على
امرأة
ذكر
صحته
وشروطه
4. Didalam dakwa
telah nikah kepada perempuan harus
menerangkan sahnya nikah dan syarat-syaratnya. (Fathul Mu’in IV : 253).
ويجوز نكاح
الحامل
من
الزنا
لأن
حملها
لا
يلحق
بأحد
فوجوده
كعدمه
5. Boleh menikah
perempuan yang hamil dari zina karena kehamilannya itu tidak dapat dikaitkan
kepada siapapun juga, jadi adanya hamil itu seperti tidak hamil. (Al Muhazab II
: 210).
ويقبل إقرارالبـالغـة
الـعاقلـة
على
القول
اجـديـد
6. Diterima pengakuan
seorang wanita yang sudah baligh dan berakal,bahwa dia telah dinikahi oleh
seseorang menurut qaul jaded. (Mughnil Muhtaj II : 140).
ولوادعت
امرأة
على
رجل
النكاح
سمعت
اخترن
بها
حق
من
الحقوق
كالصداق
والنفقة
والميراث
أو
لم
يقترن
7. Jika seorang wanita mengaku telah
dinikah sah oleh seorang pria, maka dapatlah diterima pengakuannya itu, baik
yang berhubungan dengan penuntutan, mahar, nafkah, warisan atau yang tidak
berhubungan dengan itu. (Al Anwar II : 146)
وان كان
المدعى
نكاحا
فقد
قال
الشافعى
رحمه
الله
لايسمع
حتى
يقول
نكحتها
بـولى
وشاهدين
ورضاها
8. Jika yang diperkarakan adalah suatu
pernikahan, maka Imam Syafi’i telah berkata : Pengakuan itu tidak didengar
hingga yang mengaku berkata : Saya telah menikahkannya dengan seorang wali dan
dua orang saksi pula dengan keredlaan isteri. (Al Muhazab II : 310)
وان ادعت
امرأة
على
رجل
نكاحا
فإن
كان
مع
النكاح
حق
تدعيه
من
مهر
ونفقة
سمعت
دعواها
9. Apabila seorang wanita mengaku adanya
hubungan perkawinan dengan seorang laki-laki, jika ada kaitan hak yang
dituntutnya seperti mahar atau nafkah, maka gugatannya/pengakuannya diterima.
(Al Muhazab II : 310)
ولو قال
الرجل
فلانة
زوجتى
ولم
يقبل
وصدقته
المرأة
أو
المجبر
كـفى
10. Apabila seorang laki-laki berkata :
“Fulanah isteriku”, Dan ia tidak memerinci dan isteri membetulkan kepada
kata-kata lelaki itu, atau wali mujbir, maka telah dianggap cukup. (Al Anwar :
461)
ويجوز لقاض
تـزوج
من
قالت
انا
خليـة
عن
نكاح
وعدة
11. Boleh hakim menikahkan perempuan yang
mengaku bahwa : Saya bebas dari ikatan perkawinan dan iddah. (I’anatut Thalibin
III : 315, 319)
فإن كانت
حاملا
من
زنا
أو
حملت
فى
العدة
منه
انقضت
عدتها
بمضى
الأشهر
مع
وجوده
لأنه
لا
حرمة
له
– ولهذا
لو
نكح
حاملا
من
زنا
صح
نكاحه
قطعا
وجاز
له
وطؤ
ها
قبل
وضعه
على
الأصح,
وجهل
حال
الحمل
هل
هو
من
زنا
أو
من
وطء
الشبهة
حمل
انه
من
الزنا,
كما
نقله
الشيخان
عن
الرويانى
وبه
افتى
القفال
وجزم
صاحب
الأنوار,
وقال
الإمام
: يحمل
على
أنه
من
وطء
الشبهة
12. Apabila seorang peempuan hamil karena zina
atau hami semasa iddah, maka iddahnya dianggap habis setelah tiga bulan
walaupun dia hamil, karena itu tidak haram baginya (mengawini perempuan
tersebut). Apabila ia kawin dalam keadaan hamil karena zina, maka perkawinannya
sah dan boleh suami menyetubuhnya sebelum dia melahirkan (menurut pendapat yang
lebih kuat). Apabila tidak diketahui apakah hamilnya karena zina atau karena
persetubuhan syubhat, dianggap hal itu zina. Sebagaimana riwayat Syaikhan dari
Ar Rujani, demikian juga fatwa Al Qaffal dan hal ini ditetapkan pula oleh
pengarang Al Anwar. Al Imam berkata : Dalam hal itu dianggap dari persetubuhan
syubhat, dengan dasar husnudhon (sangkaan yang baik) demikian pula penetapan
dari pengarang At Ta’jiz. Dan kompromi dari dua pemikiran tersebut adalah :
a. Dianggap dari zina, agar iddahnya tidak
tergantung dari kehamilannya.
b. Dianggap dari persetubuhan syubhat,
agar tidak terkena had. (Al Bajuri II : 169)
يجوز نكاح
الحامل
من
الزنا
سواء
الزانى
أو
غيره
ووطؤها
حينئذ
مع
الكراهة
13. Boleh mengawini orang yang hamil karena
zina baik yang berbuat ataupun orang lain, dan boleh juga menyetubuhinya
kaetika itu dengan hukum makruh. (Bughyatul Musytarsyidin : 228)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar