Soal :
bahwa terdapat
sejumlah industri yg sistim operasionalnya bersifat non stop 24 jam, tanpa
henti, serta harus ditangani secara langsung dan terus menerus, dan jika
operasionalnya dihentikan beberapa saat saja, atau tidak ditangani (ditunggu)
secara langsung, mesin industri menjadi rusak yang pada akhirnya timbul
kerugian besar dan para pekerja kehilangan pekerjaan yg menjadi sumber
ma’isyahnya, sehingga dengan sifat industri seperti itu muslim yg bekerja
diindustri tsbt tdk dapat melaksanakan sholat jum’at kecuali dilakukan dengan
dua gelombang, sehingga mereka bertanya-tanya tentang status hukumnya,
bagaimana hukumnya sholat jum’at dibuat menjadi dua gelombang, terima kasih
sebelumnya -
jawab :
wa’alaikumussalaam wr.wb
meninggalkan sholat jum’at lantaran bekerja pada suatu
industri sebagaimana yg dimaksud diatas adalah termasuk udzur syar’i (boleh
untuk tidak melakukan sholat jum’at)
dan sholat jum’at adalah suatu ibadah yg bentuk maupun
tatacara pelaksanaannya harus mengikuti segala ketentuan yg telah ditetapkan
oleh hukum islam (syari’ah) serta dipraktekkan oleh Rosulullah saw,
kaidah fiqih menegaskan : اتسر ع عبادة الا بشر ع الله “suatu ibadah tidak di
syari’atkan kecuali disyari’atkan oleh Allah “
“al ‘ibaadaatu mabnaahaa ‘ala tauqiifi walittibaa’i, laa
“alal hawa wal ibtidaa’i fafish shohihaini ‘an ‘aisyata ‘aninnabiyi saw annahu
qoola : man ahdatsa fii amrinaa hadzaa maa laysa minhu fahuwa roddun”
Ibadat itu didasarkan pada tauqif dan ittiba’ (mengikuti
petunjuk dan contoh dari nabi saw) bukan pada hawa nafsu dan ibtida’ (ciptaan
sendiri). Ditegaskan dalam shohih Bukhori Muslim. Dari ‘Aisyah dari Nabi saw ia
bersabda : “barang siapa mengada-adakan dalam agama kita ini sesuatu yg bukan
dari agama maka tertolak.
Salah seorang ulama mesir syeikh Mahmud saltut dalam surat
kabar al jumhuriyah edisi 7 apri 1955
mengatakan :
“himbuan untuk melakukan sholat jum’at dua kali disatu
tempat dan pada waktu yg sama (kecuali diselingi waktu untuk memberikan
kesempatan pada gelombang pertama keluar dan gelombang kedua masuk masjid)
dalam dua kali berjamaah dan dengan dua kali khutbah, belum pernah dikenal,
baik pada masa sekarang maupun pada masa lalu, juga tidak mempunyai sandaran
dalam syariah, dengan demikian hal ketiga ini dipandang sebagi tasyri’ (penetapan
hukum) sesuatu yg tdk di izinkan oleh Sllah swt.
Didalam kitab tanwir al qulub juz I hal 189 dijelaskan :
حتي إذا كان يوم الجمعة لم يقموها الا في
مسجده صلي الله عليه وسلم - ولم يرخص عليه الصلاة والسلام مع فرط حبه للتيسير علي أمته
في أن يقموها في مساجد متعددة أويصلي بمن يتيسرله الحضور أول الوقت ويأذن في ان تقام
بعده جمعة وجمعة وثالثة وهكذا لبقي الذين لا يستطيعون أن يحضروا وكان ذلك أيسر عليهم
لو كان وعلي سنته السنية درج خلفاؤه الكرام
(تنويراقلوب - الجزء اللأول - ص ١٨٩)
“...hingga ketika tiba hari jum’at, mereka (para sahabat)
tdak melakukan sholat jum’at kecuali dimasjid Nabi saw, betapapun sangat senang
untuk memberikan kemudahan kepada umatnya, Nabi saw tidak memberikan rukshoh
(keringanan) kepada mereka untuk melaksanakan jum’at dibeberapa masjid, atau ia
melakukan sholat jum’at bersama orang yang dapat hadir diawal waktu dan
mengizinkan melakukan sholat jum’at lagi, dan seterusnya, bagi mereka yang
tidak dapat hadir (untuk sholat bersama Nabi saw) ; padahal hal itu akan lebih
memudahkan mereka andaikata boleh. Para khalifah yg muliapun mengikuti jejak
Nabi saw tersebut.
Terakhir bahwa Nabi saw bersbda : “idzaa amartukum bi amrin
fa-tuu minhu mastatho’tum”
Jika aku memerintahkan kepadamu suatu hal, lakukanlah
semampumu (HR. Bukhori dan Muslim)
Wallahu a’lam bish showaab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar