Minggu, 27 April 2014

MAKNA PERTANYAAN "AINA ALLAH (DIMANA ALLAH)"





Imam An-Nawawi menulis di kitabnya Syarh shahih muslim jilid 5 hal. 24-25:

قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ


[01] Tentang pertanyaan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kepada seorang jariyah (budak wanita): “di mana Allah”, kemudian jariyah tersebut menjawab: “di langit”, kemudian beliau bertanya: “Siapakah aku?” Jariyah tersebut menjawab: “Engkau adalah Rasulullah”. Lalu beliau bersabda: “Merdekakanlah ia karena sesungguhnya dia orang yg mukmin (beriman)”.

هَذَا الْحَدِيثُ مِنْ أحَادِيثِ الصِّفَاتِ وَفِيهَا مَذْهَبَانِ تَقَدَّمَ ذِكْرُهُمَا مَرَّاتٍ فِي كِتَابِ الْإِيمَانِ

[02] Hadits ini termasuk hadits-hadits tentang sifat Allah. Ada dua madzhab mengenai hadits-hadits sifat. Perbincangan tentang dua madzhab tersebut telah disebutkan beberapa kali di kitab Al-Iman.

أَحَدُهُمَا الْإِيمَانُ بِهِ مِنْ غَيْرِ خَوْضٍ فِي مَعْنَاهُ مَعَ اعْتِقَادِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَتَنْزِيهِهِ عَنْ سِمَاتِ الْمَخْلُوقَاتِ

[03] Pendapat pertama menyatakan bahwa (wajib) beriman kepada ayat-ayat sifat tanpa berdalam-dalam mengenai maknanya. Bersamaan dengan itu, berkeyakinan bahwa Allah Maha Tinggi tidak ada yang serupa dengan-Nya sesuatupun, serta menyucikan Allah dari sifat-sifat kekhususan makhluk.

وَالثَّانِي تَأْوِيلُهُ بِمَا يَلِيقُ بِهِ فَمَنْ قَالَ بِهَذَا قَالَ كَانَ الْمُرَادُ امْتِحَانَهَا هَلْ هِيَ مُوَحِّدَةٌ تُقِرُّ بِأَنَّ الْخَالِقَ الْمُدَبِّرَ الْفَعَّالَ هُوَ اللَّهُ وَحْدَهُ وَهُوَ الَّذِي إِذَا دَعَاهُ الدَّاعِي اسْتَقْبَلَ السَّمَاءَ كَمَا إِذَا صَلَّى الْمُصَلِّي اسْتَقْبَلَ الْكَعْبَةَ وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَنَّهُ مُنْحَصِرٌ فِي السَّمَاءِ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ مُنْحَصِرًا فِي جِهَةِ الْكَعْبَةِ بَلْ ذَلِكَ لِأَنَّ السَّمَاءَ قِبْلَةُ الدَّاعِينَ كَمَا أَنَّ الْكَعْبَةَ قِبْلَةُ الْمُصَلِّينَ

[04] Pendapat kedua mentakwilnya (memalingkan makna-nya) kepada makna lain yang sesuai untuk Allah. Golongan yang memilih pendapat ini berkata bahwa maksud dari ujian Nabi kepada budak wanita tersebut adalah (untuk mengetahui) apakah dia seorang yang bertauhid yang mengikrarkan bahwa sesungguhnya Al-Khaliq (Pencipta), Al-Mudabbar (Yang mengatur), Al-Fa’al (Yang berbuat) adalah Allah yang Maha Esa. Dialah Allah yang apabila seorang hamba berdoa menghadap ke langit sebagaimana apabila orang shalat menghadap ke ka’bah. Bukan maksudnya bahwa Allah dibatasi oleh langit sebagaimana Allah tidak dibatasi di arah ka’bah. Akan tetapi yang demikian itu karena sesungguhnya langit adalah kiblatnya orang-orang yang berdoa sebagaimana bahwa ka’bah adalah kiblatnya orang-orang yang shalat.

أَوْ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ الْعَابِدِينَ لِلْأَوْثَانِ الَّتِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ فَلَمَّا قَالَتْ فِي السَّمَاءِ عَلِمَ أَنَّهَا مُوَحِّدَةٌ وَلَيْسَتْ عَابِدَةً هِيَ مِنْ لِلْأَوْثَانِ

[05] Ujian ini untuk mengetahui atau apakah budak wanita tersebut termasuk penyembah berhala. Yakni menyembah berhala yang ada di tengah-tengah mereka. Ketika budak wanita tersebut menjawab di langit, Tahulah Rasulullah bahwa sesungguhnya budak wanita ini seorang yang bertauhid dan bukanlah seorang penyembah berhala.

قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ لَا خِلَافَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ قَاطِبَةً فَقِيهُهُمْ وَمُحَدِّثُهُمْ وَمُتَكَلِّمُهُمْ وَنُظَّارُهُمْ وَمُقَلِّدُهُمْ أَنَّ الظَّوَاهِرَ الْوَارِدَةَ بِذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى فِي السَّمَاءِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السماء أن يخسف بكم الأرض وَنَحْوِهِ لَيْسَتْ عَلَى ظَاهِرِهَا بَلْ مُتَأَوَّلَةٌ عِنْدَ جَمِيعِهِمْ

[06] Berkata Qadhi Iyadh: “Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) diantara kaum muslimin seluruhnya baik para ahli fikih, ahli hadits, ahli kalam, ahli pendapat, maupun orang-orang yang taklid bahwa penyebutan Allah ta’ala di langit sebagaimana firman-Nya: “Apakah kamu merasa aman terhadap (Allah) yang ada di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu” dan yang semisalnya tidaklah diartikan dengan makna zhahir akan tetapi ditakwilkan oleh seluruh kaum muslimin.

فَمَنْ قَالَ بِإِثْبَاتِ جِهَةِ فَوْقُ مِنْ غَيْرِ تَحْدِيدٍ وَلَا تَكْيِيفٍ مِنَ الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاءِ وَالْمُتَكَلِّمِينَ تَأَوَّلَ فِي السَّمَاءِ أَيْ عَلَى السَّمَاءِ


[07] Kelompok yang berpendapat dengan penetapan sifat arah “di atas” bagi Allah disertai dengan tanpa tahdid (memberi batasan bagi Allah) dan takyif (menjelaskan bagaimana gambaran sifat Allah) adalah sebagian dari golongan ahli hadits, ahli fikih dan ahli kalam. Mereka menakwilkan “di langit” dengan “di atas langit”.

وَمَنْ قَالَ مِنْ دَهْمَاءِ النُّظَّارِ وَالْمُتَكَلِّمِينَ وَأَصْحَابِ التَّنْزِيهِ بِنَفْيِ الْحَدِّ وَاسْتِحَالَةِ الْجِهَةِ فِي حَقِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى تَأَوَّلُوهَا تَأْوِيلَاتٍ بِحَسَبِ مُقْتَضَاهَا وَذَكَرَ نَحْوَ مَا سَبَقَ

[08] Kelompok yang terdiri dari mayoritas ahli pendapat dan ahli kalam dan ahli tanziih (penyucian Allah dari sifat2 yang kurang) menolak adanya batasan dan menganggap mustahil penetapan sifat arah bagi Allah subhanahu wata’ala. Mereka menakwilkannya dengan makna-makna yang sesuai bagi Allah. Beliau (Qadhi Iyadh) menyebutkan makna-makna ini sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.

قَالَ وَيَا لَيْتَ شِعْرِي مَا الَّذِي جَمَعَ أَهْلَ السُّنَّةِ وَالْحَقِّ كُلَّهُمْ عَلَى وُجُوبِ الْإِمْسَاكِ عَنِ الْفِكْرِ فِي الذَّاتِ كَمَا أُمِرُوا وَسَكَتُوا لِحِيرَةِ الْعَقْلِ وَاتَّفَقُوا عَلَى تَحْرِيمِ التَّكْيِيفِ وَالتَّشْكِيلِ


[09] Qadhi Iyadh berkata: “Apakah gerangan yang menyatukan ahlu sunnah wal-haq seluruhnya atas wajibnya menahan diri dari berfikir tentang zat Allah sebagaimana telah diperintah dan mereka menutup kebebasan akal dan mereka bersepakat atas haramnya takyif (menjelaskan bagaimana sifat Allah) dan tasykil (menggambarkan bentuk Allah dan sifat-Nya).

وَأَنَّ ذَلِكَ مِنْ وُقُوفِهِمْ وَإِمْسَاكِهِمْ غَيْرُ شَاكٍّ فِي الوجود والموجود وَغَيْرُ قَادِحٍ فِي التَّوْحِيدِ بَلْ هُوَ حَقِيقَتُهُ

10] Dan sesungguhnya pendirian dan sikap menahan diri mereka bukanlah termasuk keragu-raguan terhadap wujud Allah dan bukan pula celaan terhadap tauhid. Akan tetapi itulah hakikat tauhid.

ثُمَّ تَسَامَحَ بَعْضُهُمْ بِإِثْبَاتِ الْجِهَةِ خَاشِيًا مِنْ مِثْلِ هَذَا التَّسَامُحِ وَهَلْ بَيْنَ التَّكْيِيفِ وَإِثْبَاتِ الْجِهَاتِ فَرْقٌ لَكِنْ إِطْلَاقُ مَا أَطْلَقَهُ الشَّرْعُ مِنْ أَنَّهُ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَأَنَّهُ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ مَعَ التَّمَسُّكِ بِالْآيَةِ الْجَامِعَةِ لِلتَّنْزِيهِ الْكُلِّيِّ الَّذِي لَا يَصِحُّ فِي الْمَعْقُولِ غَيْرُهُ وهو قوله تعالى ليس كمثله شيء عِصْمَةٌ لِمَنْ وَفَّقَهُ اللَّهُ تَعَالَى

[11] Kemudian sikap toleransi kelompok kedua terhadap kelompok pertama yang menetapkan sifat arah bagi Allah (yakni di atas) menimbulkan kekhawatian. Apakah antara takyif and penetapan sifat arah (di atas) memiliki perbedaan? Jawabnya, (kita wajib) memutlakkan apa-apa yang telah memutlakkan oleh syara’. Seperti bahwasanya Allah Maha tinggi di atas hamba-hamba-Nya. Dan sesungguhnya Dia istiwa (bersemayam) di atas ‘arsy. Selain itu, kita tetap berpegang kepada kumpulan ayat yang menyucikan Allah secara keseluruhan dari sifat-sifat yang tidak masuk akal. Yakni firman Allah ta’ala “Tidak ada yang serupa dengan-Nya sesuatupun”. Hal ini sebagai penjagaan bagi siapa yang diberi taufik oleh Allah ta’ala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar